REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah organisasi petani bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerukan perlunya perumusan Peta Jalan Perbenihan Indonesia. Hal itu guna memberi ruang bagi seluas-luasnya dukungan terhadap kedaulatan petani atas benih dan kedaulatan pangan.
Sebelumnya diketahui, seruan tersebut didorong pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang sudah menandatangani Peta Jalan Pengembangan Benih Produk Rekayasa Genetik (PRG) atau GMO (Genetically Modified Organism). Ditargetkan finalisasi regulasi yang melegalkan dan memberikan jalan pada benih PRG untuk beredar luas di Indonesia.
“Pemerintah perlu ekstra hati-hati soal benih PRG. Di dunia ini tidak sedikit negara yang menolak menanam benih PRG di lahan-lahan mereka,” kata Guru Besar Pertanian dsri U iversitas Soedirman, Purwokerto, Totok Agung, dalam keterangan pers yang diterima Republika, Ahad (4/8).
Bahkan di berbagai wilayah di Amerika sendiri, kata dia, juga banyak yang menolak benih PRG padahal penghasil benih PRG terbesar di dunia adalah industri Amerika. Menurut dia pemerintah perlu menelaah semua aspek terutama keamanannya pada ekosistem dan kesehatan.
Di sisi lain, Totok juga mengimbau pemerintah untuk sumber daya genetik sebagai bahan baku dari benih-benih unggul. Seharusnya, menurut dia, Indonesia dapat menjadi pemasok dunia untuk benih unggul pangan alami yang nilainya sangat tinggi.
Sebelumnya diketahui benih PRG di Indonesia belum siap edar dan peredarannya hanya milik perusahaan benih multinasional. Di sisi lain, terdapat kasus yang dialami oleh petani kecil, Munirwan dari Meunasah, Aceh, karena menangkar dan menyebarluaskan benih di kalangan petani di sekitar desanya.
Munirwan diketahui ditangkap dan dipidanakan hanya karena benih yang ia ciptakan belum bersertifikat. Setelah kasus tersebut viral dan mendapat banyak tekanan dari berbagai elemen masyarakat, barulah kemudian penahanan Munirwan ditangguhkan.
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API), Nur Uddin mempertanyakan sektor perbenihan, pangan, dan pertanian Indonesia. Menurut dia pemerintah perlu mengatur PRG dan mengedepankan kepentingan petani.
“Padahal benih-benih yang dihasilkan perusahaan multinasional cukup diraguka kemanan ekosistem dan kesehatannya” kata dia
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko memprihatinkan realita kondisi perbenihan tersebut. Di mana menurut dia pemerintah seperti sengaja dibuat bergantung pada benih hasil industri.
“Penguasaan benih, pertanian, dan pangan dominan di tangan industri adalah yang akan melanggengkan praktik mafia pangan dan pertanian, kemiskinan petani dan ekonomi berbiaya tinggi. Dan ini adalah praktik korupsi sistematis yang sesungguhnya,” kata Sujanarko.
Untuk itu pihaknya siap bekerja sama dengan elemen pemerintah dan masyarakat. Hal itu untuk membenahi regulasi agar perbenihan dan pertanian di Indonesia dapat mencapai tujuan terhadap kesejahteraan secara umum sesuai amanat konstitusi.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menyampaikan sejauh ini Indonesia memang belum mempunyai Peta Jalan Perbenihan yang memastikan petani pemulia kita berinovasi mengembangkan benih-benih unggul.
“Kalau kita punya petanya, kita tidak tergantung pada benih-benih yang diproduksi oleh korporasi” ujar Henry.
Dalam hal ini pemerintah Indonesia, kata dia, juga memiliki kewajiban untuk melindungi petani terkait proses budidaya dan pemuliaan benih yang dilakukannya sebagai bagian dari hak asasi petani.
Hal ini juga sesuai dengan isi dari Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan’ (UNDROP) dalam pasal 19 mengenai hak petani atas benih beserta kebebasan untuk memuliakan, penyimpanan, penggunaan, pertukaran, dan penjualan benih.
Henry juga mengajak organisasi massa petani, lembaga Swadaya Masyarakat, dan seluruh kekuatan rakyat di Indonesia untuk menyoroti kemungkinan munculnya peraturan-peraturan yang membahayakan pelanggaran atas hak asasi petani.
Secara khusus, SPI menyoroti rencana DPR-RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, yang dinilai justru mempersulit petani untuk berinovasi dan mengembangkan hasil produksinya.