REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN – Pondok Pesantren At Thohiriyah yang berlokasi di Jl Wisata Balong Keramat Darmaloka, Darma, Kuningan Jawa Barat, punya cara tersendiri untuk mengajarkan para santrinya mandiri finansial. Di sela-sela rutinitas mengaji, para santri mengikuti program wirausaha dibidang konfeksi busana Muslim dan karya seni kaligrafi.
Pengasuh pesantren At Thohiriyah, Ustaz Jidin Sajidin, mengatakan program wirausaha bermula saat beberapa santri yang sudah lama mengaji di pesantren berkeinginan membiayai kebutuhan sehari-hari secara mandiri.
Santri dengan dorongan dari pengasuh pesantren pun lantas mulai mengadakan pelatihan menjahit. Berbekal empat unit mesin jahit manual, para santri mulai belajar membuat pakaian.
Seiring berjalannya waktu, para santri yang sudah mahir menjahit pun mulai melayani pesanan dari warga. Dari mulai pembuatan baju koko, kemeja hingga jas.
“Santri-santri yang sudah lama mengaji itu awalnya ingin bagaimana supaya bisa mandiri, tak membebani lagi keluarga. Lalu santri itu ada yang membawa mesin jahit dan bahan-bahan bakunya, yang sudah bisa mengajarkan pada yang belum bisa,” kata Ustaz Jidin saat berbincang dengan Republika,co.id pada Senin (8/5).
Pesanan pun semakin banyak berdatangan. Terutama pada saat Ramadhan, dari sekitar sepuluh santri yang sudah mahir membuat buasana dan dapat melayani pesanan secara mandiri, mampu mengerjakan 20 potong busana selama Ramadhan.
Rata-rata setiap potong busana seperti baju koko dibandrol dengan harga Rp 70 ribu sampai Rp 90 ribu. Meski masih berskala kecil, namun menurut Jidin program wirausaha itu telah mampu membantu sejumlah santri mempunyai penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari sehingga tak membebani keluarga.
Selain dibidang konfeksi, pesantren itu juga mengajarkan santri-santrinya bisa berwirausaha melalui karya seni Kaligrafi. Menariknya, santri-santri yang sudah senior diperbolehkan memasarkan sendiri hasil karyanya melalui media sosial. Sebab itu, pesantren pun memperbolehkan santri-santri yang sudah senior membawa smartphone sebagai media untuk pemasaran karya-karyanya.
“Kalau yang sudah lama mengaji boleh membawa hp supaya bisa berkembang usahanya, pesantren mendorong agar santri bisa mengembangkan usahanya sendiri,” kata Jidin.
Peralatan konfeksi santri Pesantren At Thohiriyah. Republika/ Andrian Saputra
Memang menurut Jidin, kebanyakan santri yang mondok di Pesantren At Thohiriyah berasal dari keluarga tidak mampu. Meski untuk mengaji di pesantren At Thohiriyah santri dikenakan biaya pendaftaran Rp 80 ribu dan biaya bulanan Rp 50 ribu, namun Pesantren menggratiskan biaya mondok santri yatim piatu dan berasal dari keluarga tak mampu. Sebab itu pula, para santri senior yang sudah mengaji lebih dari lima tahun didorong agar bisa mandiri dengan berwirausaha.
“Alhamdulillah, selain bisa mengajari mengaji adik-adiknya, santri yang senior-senior ini bisa mandiri. Bahkan yang sudah lulus bisa mengembangkannya buka usaha sendiri,” kata dia.
Ustaz Jidin mengakui Pesantren belum mampu melengkapi berbagai fasilitas untuk mendorong program berwirausaha yang sudah berjalan. Terlebih jumlah santri yang mengaji di pesantren At Thohiriyah saat ini mencapai 270 santri. Karenanya beberapa santri mengadakan secara mandiri beberapa peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjahit ataupun membuat kaligrafi.
Meski santri didorong agar bisa berwirausaha, Pesantren At Thoiriyah tetap mengutamakan para santrinya untuk memperdalam keilmuan agama. Selain mengaji kitab-kitab melalui metode sorogan dan bandungan, para santi juga dilatih agar bisa berceramah di muka umum.
Karena itu setiap pekannya, para santri harus bisa membuat materi ceramah untuk disampaikan dihadapan para santri lainnya. Selain itu, Pesantren At Thohiriyah juga menggebleng santrinya dengan program qiraat agar santri dapat melafalkan Alquran dengan tartil dan bacaan yang indah.
Pesantren At Thohiriyah didirikan KH Imamudin Tohirin. Mengacu pada Pengelolaan Data Pondok Pesantren Kemenag RI, pesantren At Thohiriyah didirikan pada 1989. Saat ini pesantren At Thohiriyah dipimpin oleh KH Amung Turhamun. Andrian Saputra