Rabu 07 Aug 2019 03:03 WIB

Status Otonomi Khusus Kashmir Dicabut, Apa Dampaknya?

Penduduk India yang mayoritas Hindu akan diizinkan bermukim di Kashmir.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Perbatasan Kashmir yang memisahkan India dan Pakistan.
Foto: Zee Media Bureau
Perbatasan Kashmir yang memisahkan India dan Pakistan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Pemerintah India mencabut status konstitusional khusus Kashmir pada Senin (5/8) lalu. Pencabutan tersebut dilakukan di tengah keributan di Parlemen dan pengerahan pasukan besar-besaran di wilayah Kashmir. Ketentuan konstitusional telah melarang orang India yang berasal dari luar wilayah tersebut untuk membeli tanah maupun menetap secara permanen. 

Berikut adalah beberapa hal seputar masalah Kashmir:

Baca Juga

Apa yang terjadi?

Pemerintah nasionalis Hindu yang dipimpin Perdana Menteri India Narendra Modi mencabut Pasal 370 konstitusi India pada Senin (5/8) atas perintah presiden. Undang-undang tersebut memberikan hak khusus kepada penduduk tetap di negara bagian Jammu dan Kashmir. 

Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah mengatakan, hak sebelumnya yang terkait dengan kemerdekaan India dari kekuasaan Inggris pada 1947 bersifat sementara. Dengan menghapus Pasal 370 pemerintah berharap dapat mengubah demografi mayoritas Muslim di wilayah Kashmir yang dikuasai India. Pemerintah akan membuka kesempatan bagi penduduk baru India yang mayoritas Hindu untuk bermukim di wilayah itu. 

Shah mengatakan kepada anggota majelis tinggi bahwa pemerintah juga telah memutuskan untuk membagi wilayah Jammu dan Kashmir menjadi dua teritorial yang memiliki badan legislatif. Sementara, wilayah Ladakh akan diperintah langsung oleh pemerintah pusat tanpa legislatif. 

Apa itu status khusus Kashmir?

Pasal 35A konstitusi India memungkinkan legislatif lokal di Kashmir yang dikuasai India untuk mendefinisikan penduduk tetap di wilayah tersebut. Artikel itu muncul pada 1954 atas perintah presiden berdasarkan Pasal 370, yang memberikan status otonomi khusus untuk Jammu dan Kashmir. 

Pasal 35A melarang penduduk India dari luar Jammu dan Kashmir menetap di wilayah tersebut secara permanen, membeli tanah, dan menjabat sebagai pegawai pemerintah maupun mendapatkan beasiswa pendidikan.

Pasal yang disebut sebagai Undang-Undang Penduduk Permanen melarang penduduk perempuan Jammu dan Kashmir menikah dengan seseorang dari luar wilayah mereka. Ketentuan ini juga berlaku untuk anak-anak perempuan. Pasal 35A menuai kritik yang menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut tidak memiliki sanksi parlementer, dan mendiskriminasi perempuan.

Ketentuan dalam Pasal 35A tetap tidak berubah. Sementara beberapa aspek dalam Pasal 370 telah mengalami perubahan selama beberapa dekade. 

Bagaimana Pasal 35A dibuat?

Pada 1927 Jammu dan Kashmir telah memiliki hak eksklusif secara turun temurun. Dua bulan setelah India meraih kemerdekaan dari pemerintahan Inggris, tepatnya pada Agustus 1947, penguasa Jammu dan Kashmir pada saat itu yakni Maharaja Hari Singh menandatangani Perjanjian Aksesi agar kedua wilayah tersebut bergabung menjadi satu. Perjanjian tersebut diformalkan dalam Pasal 370 konstitusi India. 

Diskusi lebih lanjut mengenai status Kashmir memuncak dalam Perjanjian Delhi 1952, yakni sebuah perintah presiden untuk memperluas warga India untuk tinggal di Kashmir namun tidak meninggalkan hak istimewa yang telah diwariskan secara turun temurun oleh Maharaja Hari Singh. 

Bagaimana status itu bisa dicabut?

Pasal 370 (3) dari konstitusi India mengizinkan pencabutan hukum berdasarkan perintah presiden. Namun, perintah tersebut harus dibawa di hadapan Majelis Konstituante. Sejak Majelis Konstituante dibubarkan pada 1957, para ahli memiliki pandangan berbeda mengenai pencabutan undang-undang. Beberapa ahli berpendapat pencabutan undang-undang membutuhkan persetujuan parlemen. Sementara yang lainnya menilai, pencabutan undang-undang cukup melalui perintah presiden. 

Validitas Pasal 35A telah diajukan ke Mahkamah Agung India. Partai Bharatiya Janata menyatakan, jika Mahkamah Agung menyetujuinya maka pemerintah akan mencabut undang-undang tersebut dengan perintah presiden. 

Apa yang terjadi sekarang?

Status Kashmir saat ini sudah dicabut, dan penduduk dari seluruh India akan memiliki hak untuk mendapatkan properti dan menetap secara permanen di wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pencabutan status itu akan mengarah pada transformasi demografis dari mayoritas Muslim menjadi mayoritas Hindu. 

Kementerian Luar Negeri Pakistan mengatakan, tindakan India telah melanggar resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Diketahui, PBB mengeluarkan resolusi setelah India dan Pakistan berperang untuk memperebutkan Kashmir pada 1948. 

Para pejabat Pakistan mengatakan, India sedang berupaya untuk mencabut resolusi PBB itu. Kementerian Luar Negeri menyatakan, Pakistan akan menggunakan semua opsi untuk menjegal langkah India. 

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menawarkan diri menjadi penengah antara India dan Pakistan untuk menyelesaikan sengketa Kashmir. Dalam hal ini, Pakistan menyambut baik tawaran AS. Sementara India berulang kali menolak tawaran tersebut. 

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement