Peristiwa mati listrik yang melanda setengah Pulau Jawa pekan lalu, menyebabkan perusahaan listrik negara (PT PLN) menjadi bulan-bulanan. Bagaimana kalau hal itu terjadi di Australia?
Mati listrik atau blackout terakhir kali terjadi di Australia Selatan pada tahun 2016 silam. Saat itu, terjadi cuaca ekstrim yang menyebabkan kerusakan besar pada infrastuktur listrik, termasuk merobohkan jalur transmisi.
Menurut Australian Energy Regulator (AER), hal itu diikuti oleh hilangnya pasokan dari pembangkit listrik tenaga bayu sehingga memicu terjadinya blackout. Sedikitnya 850 ribu warga terdampak pemadaman listrik.
Kejadian ini sudah tiga tahun berlalu, tapi konsekuensinya masih berlanjut sampai saat ini.
AER pada hari Rabu (7/8/2019) menyatakan akan menyeret empat operator pembangkit listrik tenaga bayu ke pengadilan federal. Keempat operator ini merupakan anak perusahaan dari AGL, Neoen, Pacific Hydro dan Tilt Renewables.
AER menuduh mereka tidak mematuhi persyaratan kinerja dalam menghadapi gangguan besar, serta melanggar Peraturan Listrik Nasional. "AER ingin mengirimkan sinyal kuat ke semua perusahaan energi mengenai pentingnya kepatuhan pada standar kinerja demi keamanan dan keandalan sistem," kata Ketua AER, Paula Conboy, seperti dilaporkan ABC News.
"Kegagalan mereka itu diduga berkontribusi pada event padamnya sistem, artinya Operator Pasar Energi Australia (AEMO) tidak memperoleh informasi lengkap saat mengatasi kegagalan sistem di Australia Selatan pada September 2016," tegas Conboy lagi.
"Memberikan informasi tepat waktu dan akurat kepada AEMO sangat penting untuk memastikan keamanan sistem kelistrikan serta keefektifan pasar energi eceran," katanya.
Dalam pernyataannya kepada Bursa Efek Australia, perusahaan pemasok energi ternama AGL menilai tuduhan terhadap mereka bersifat sangat teknis. AGL menyatakan tidak menerima kesimpulan AER dan siap untuk membela diri di pengadilan.
AGL mengakui dampak pemadaman listrik terhadap masyarakat dan bisnis, namun menyalahkan faktor bencana sebagai penyebabnya. Pemadaman listrik bervariasi mulai dari yang hanya beberapa jam di sebagian daerah hingga beberapa hari di daerah lainnya. Perkiraan kerugian mencapai 367 juta dolar.
Melirik pembangkit nuklir
Selain menggugat para perusahaan pemasok listrik, pihak berwenang Australia juga saat ini melirik kembali usulan untuk mempertimbangkan pembangkit listrik tenaga nuklir. Menteri Energi Angus Taylor pekan ini meminta dibentuknya penyelidikan di parlemen atas usulan ini.
"Ini penyelidikan pertama mengenai penggunaan tenaga nuklir di Australia dalam satu dekade lebih," katanya.
Penyelidikan oleh parlemen dirancang dengan mempertimbangkan implikasi ekonomi, lingkungan, dan keamanan dari pembangkit listrik tenaga nuklir. Sejumlah politisi Australia sebelumnya giat mengampanyekan penggunaan pembangkit nuklir untuk mengatasi kekurangan pasokan energi.
Isu utama di bidang energi yang dialami Australia saat ini yaitu tekanan harga, tuntutan untuk mengurangi emisi karbon serta memastikan keandalan pasokan listrik.
Pembangkit nuklir jelas masih kontroversial. Pemerintah dan oposisi secara tegas masih melarang hal itu. Ditambah lagi kejadian bocornya pembangkit di Fukushima, Jepang, akibat gempa dan tsunami.
Teknologi nuklir yang secara khusus disinggung dalam usulan Menteri Taylor yaitu teknologi reaktor modular ukuran kecil (small modular reactors atau SMRs). Teknologi ini sama sekali bukan hal baru. Bahkan, telah lama digunakan untuk kapal selam nuklir oleh AS, Rusia, Inggris, Prancis, China dan India. Bahkan reaktor SMR juga pernah ditempatkan di Greenland dan Antartika.
Teknologi SMR bukan hanya dipandang unggul dari segi ukurannya yang kecil. Tapi juga dari segi biaya.
Pengembangan SMR menurunkan biaya konstruksi pembangkit nuklir karena fabrikasinya dilakukan di luar lokasi. Skalanya bisa diperbesar dengan menggabungkan beberapa SMR menjadi satu pada lokasi yang memerlukan pasokan lebih besar.
Selama ini pembangkit listrik tenaga nuklir tradisional selalu terletak di dekat sungai, danau atau pantai karena membutuhkan volume air yang besar. Teknologi SMR konon memerlukan lebih sedikit air, sehingga lebih fleksibel penggunaannya. Sejauh ini konstruksi SMR dilaporkan akan dimulai di China pada 2019, sementara tes pertama SMR sedang dikerjakan di AS dan Kanada.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.