REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte merasa khawatir dengan keputusan Amerika Serikat (AS) menarik diri dari perjanjian Intermediate Range Nuclear Force (INF). Duterte meyakini, keputusan negeri Paman Sam tersebut membuka babak baru perlombaan persenjataan, bahkan perang nuklir antara negara-negara adi kuasa di dunia.
Duterte mengatakan, selain AS, bukan cuma Rusia yang saat ini menjadi negara adikuasa yang mampu memproduksi senjata nuklir. Di Eropa, Prancis, Inggris, dan Italia, juga negara sekutu AS yang memiliki teknologi nuklir. Sedangkan di kawasan Asia, ada China negara digdaya baru yang juga memiliki teknologi persenjataan nuklir.
Duterte mengatakan, jika negara-negara dengan kekuatan nuklir itu saling pamer kekuatan dengan melepas misil nuklirnya, dipastikan akan menjadi akhir dari sejarah dan peradaban. “Jika perang terjadi, dan China melepaskan semua misil nuklirnya, dan Amerika, dan Rusia, lalu Inggris, Italia, dan Prancis. Itu akan menjadi akhir dari kita semua,” ujar Duterte seperti dikutip dari RT News, Kamis (8/8).
Ungkapan Duterte itu, sebetulnya menanggapi situasi global yang terjadi antara AS, Rusia, dan China. Baru-baru ini, diberitakan Presiden Donald Trump menarik AS dari Perjanjian INF dengan Rusia.
Perjanjian tersebut sebetulnya traktat lama tentang penghentian memproduksi senjata berat, pun nuklir antara AS dan Uni Soviet pada 1987. Perjanjian INF yang ditandatangani Presiden Ronald Reagan dan Kamerad Mikhail Gorbachev melarang kedua negara memproduksi rudal jelajah konvensional, pun berhulu ledak nuklir yang memiliki jarak tempuh 500-5.500 kilometer.
Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev (kiri) berjabat tangan dengan Presiden AS Ronald Reagan usai menandatangani perjanjian nuklir Intermediate Range Nuclear Forces (INF) di East Room Gedung Putih, Washington, 8 Desember 1987. Kedua negara keluar dari perjanjian tersebut pada 2 Agustus 2019.
Namun pekan lalu, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menuduh Rusia melakukan uji coba 9M729, rudal jelajah yang mampu terbang sejauh 480-3.500 Km. Tuduhan NATO itu sempat ditentang Rusia.
Namun, AS sebagai komandan NATO memilih untuk menarik diri dari INF sebagai sikap terhadap Kremlin. Aksi menarik diri AS dari perjanjian INF tersebut, dinilai mengkhawatirkan keamanan dunia. Aksi tersebut akan menghapus halangan bagi AS dan Rusia untuk memproduksi dan memperbarui jarak tempuh rudal jelajah, baik yang konvensional, pun yang berhulu ledak nuklir.
Jika itu terjadi, Duterte mengatakan, China pun tak akan tinggal diam dan akan melakukan aksi peningkatan persenjataan nuklirnya. Sebab, selain dengan Rusia, AS, pun dalam dua tahun terakhir, punya konflik yang meruncing dengan pemerintahan Tirai Bambu di Beijing. Sementara China dan Rusia, dalam beberapa tahun belakangan ini memiliki kedekatan dan bersekutu untuk menghilangkan dominasi Washington di kawasan Asia-Pasifik.
Terkait situasi tersebut, Duterte melanjutkan, Filipina tak akan mengambil posisi untuk bersama-sama dengan AS dan sekutu. Ia menegaskan, Duterte akan berada di belakang China dan Rusia jika keduanya berkonfrontasi dengan AS di kawasan Asia-Pasifik. Duterte menegaskan pilihannya itu sebagai konsekuensi AS yang menolak proposal Filipina untuk mendapatkan bantuan persenjataan AS pada 2016.
“Anda (AS) adalah orang-orang yang punya tanggung jawab yang mengantarkan kami (Filipina) ke pelukan pemerintah China,” kata Duterte.
Penolakan Washington atas proposal Filipina dua tahun lalu itu, membuat Duterte mengambil China dan Rusia sebagai ‘kawan’ baru untuk meningkatkan persenjataan militer. “Saya ingin mengatakan kepada AS, mereka (China dan Rusia), tidak menuntut saya untuk mengucapkan terima kasih,” ujar Duterte.