REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di era modern ini, peran kaum wanita dalam berbagai bidang kehidupan tidak bisa dinafikan lagi. Ditunjang tingkat pendidikan memadai, keterampilan serta kemampuan mumpuni, mereka sanggup bekerja pada semua level kedudukan.
Tema seputar wanita karir akhirnya menjadi salah satu pokok bahasan yang ramai diperbincangkan. Terlebih ketika masuk ke ranah agama maka banyak pertanyaan mengemuka, terutama menyangkut kodrat dan kedudukan kaum wanita yang tidak sama dengan lelaki.
Dalam kaitan itu, Islam sudah menetapkan ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan. Semuanya tercantum dalam kitab suci Alquran, hadis, maupun fatwa ulama, agar menjadi tuntunan.
Ada tiga pendapat dari para ulama serta cendekiawan yang mewarnai pembahasan seputar wanita karir. Pertama, mereka yang membolehkan wanita bekerja tanpa syarat apapun. Kedua, tidak membolehkan sama sekali, dan ketiga, membolehkan tapi dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut ulama dan cendekiawan asal Mesir, Sayid Qutb, ajaran Islam lebih dekat dengan pandangan yang terakhir. "Sebab, tidak ada larangan dalam Islam bagi wanita untuk menjadi dokter, guru, peneliti, tokoh masyarakat dan lainnya," tandasnya
Islam, sambung dia, membolehkan wanita bekerja di bidang kemampuannya asal disesuaikan dengan kodrat kewanitaannya. "Yakni kodrat biologis dan mentalnya."
Dengan memerhatikan uraian itu, jelaslah bahwa Islam sama sekali tidak pernah menganggap wanita hanya sebagai penganggur, atau harus di rumah saja, seperti yang dituduhkan sejumlah kalangan.
"Sebaik-baik canda seorang Muslimah di rumahnya adalah bertenun," demikian sabda Nabi Muhammad SAW yang menekankan agar wanita juga harus tekun berkarya.
Meski begitu, dalam bekerja, ada tiga hal harus dipertimbangkan, yakni faktor kelemahan fisik wanita, tugas alamiahnya, serta etika yang harus ditaati.
Hukum Ikthilath
Lebih jauh, dijelaskan oleh Dr Abd al-Qadr Manshur, bahwa dengan fisik yang tidak sekuat kaum lelaki, wanita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan berat maupun yang beresiko.
Hal ini bukan untuk menghalangi atau membatasi. Anjuran itu terkait pula dengan tugas alamiah wanita, seperti melahirkan, menyusui dan menjaga keluarga, sehingga perlu ada sinergi dengan aktivitasnya di luar rumah.
Adapun aspek etika pada dasarnya dimaksudkan untuk mengatur keseimbangan hubungan antara laki-laki dan wanita. Agama Islam sendiri mengenal yang dinamakan hukum ikthilath atau berbaurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tertentu. Ketentuan ini bisa haram, bisa mubah.
Akan menjadi haram jika mengandung tiga hal. Yakni, berduaan antara laki-laki dan wanita, terbukanya aurat wanita, serta ada persentuhan anggota badan antara laki-laki dan wanita. Namun, hukum haram ini tidak berlaku untuk mereka yang berprofesi sebagai dokter.
Jadi, tidak ada pelarangan dalam Islam terhadap kaum wanita untuk bekerja. Bahkan, banyak hadis dan pandangan ulama yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kegiatan bermanfaat di luar rumah, tapi tentu saja harus seizin suami (bagi yang telah berkeluarga).
Kitab fikih Hasyiyah Ibnu Abidin justru menilik aspek lebih luas lagi. Dikatakan, bahwa seorang ayah boleh mengarahkan putrinya untuk bekerja, contohnya dengan mengikut sertakan pada pelatihan membatik atau kursus menjahit.
Nabi SAW pun berpesan bagi mereka yang bekerja, termasuk kaum wanitanya. "Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang melakukan satu pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan profesional (al-itqan)." (HR al Baihaqi, Abu Ya'la, Ibn Asakir) n
Kriteria Pekerjaan yang Diperbolehkan
1. Pekerjaan yang tidak termasuk perbuatan maksiat dan yang bisa mencoreng kehormatan keluarga
2. Pekerjaan yang tidak mengharuskan dirinya berduaan dengan laki-laki asing (bukan muhrim)
3. Pekerjaan yang tidak mengharuskannya berdandan secara berlebihan, serta membuka auratnya saat keluar rumah.
n sumber : Kitab al-Mawsu'at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.