REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Megaproyek Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) yang diinisiasi Cina dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda. Hal itu disampaikan Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Prof Din Syamsuddin.
Seperti diketahui, OBOR mulai diterapkan di pelbagai kawasan dunia. Ada sisi positif dan negatif dari megaproyek ini, yang disebut Din sebagai perwujudan obsesi Republik Rakyat Cina (RRC).
"Segala sesuatu selalu menyajikan peluang sekaligus tantangan, maka semuanya sangat tergantung kepada kita," ujar Din Syamsuddin kepada Republika.co.id usai acara diskusi yang diselenggarakan CDCC di Jakarta, Rabu (7/8) malam.
Din yang mengaku sudah berkali-kali diundang sebagai pembicara pada Forum Ekonomi Dunia Cina (World Chinese Economic Forum/WCEF) menuturkan, megaproyek OBOR tak lepas dari mimpi Cina untuk kebangkitan budaya Tionghoa.
Din menjelaskan, filosofi yang dipakai negara tersebut dapat dilihat dari kata Tionghoa sendiri. Tiong berarti 'jalan tengah', sedangkan hoa adalah 'kesejahteraan'. Dengan demikian, filosofinya bermakna menemukan 'jalan tengah yang mendatangkan kesejahteraan'.
Namun, OBOR tak pelak menimbulkan persepsi yang mungkin bernuansa negatif. Melalui megaproyek ini, Cina kian mengukuhkan hegemoni atas negara-negara tetangga yang kekuatan militer dan ekonominya belum sebanding Negeri Tirai Bambu.
Asia Tenggara, khususnya Indonesia, yang sedang mengalami pertumbuhan tak lepas dari pengaruh Cina. Maka dari itu, wajar bila OBOR menimbulkan kecemasan di negara-negara Asia Tenggara.
Sebagai jalan tengah, Din menilai, kebangkitan Cina perlu diwujudkan hanya dalam semangat dan alam pikiran yang berwawasan Asia. Jadi, Cina tidak maju sendirian.
"Jadi, ada kebersamaan sebagai negara-negara yang berada di kawasan Asia Timur ini, maka BRI (OBOR) harus dilaksanakan lewat mekanisme internasional antarbangsa dan negara, berdasarkan kesepakatan, bukan secara sepihak," ujarnya.
Ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu, dunia saat ini tidak begitu memerlukan saling tanding antarkekuatan hegemoni negara-negara adidaya. Dalam konteks ini, Indonesia bisa berperan dengan watak yang khas, seperti yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Khususnya, pada poin ikut melaksanakan ketertiban dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan kesejahteraan sosial.
Indonesia Jangan Sampai Diperdaya
Menurut Din, Indonesia sebenarnya mampu memanfaatkan peluang dari megaproyek OBOR. Namun, hal yang perlu diperhatikan antara lain aspek kedaulatan. Jangan sampai Cina bertindak sepihak sehingga bersikap jemawa.
Ia menegaskan, pemanfaatan megaproyek OBOR di Indonesia jangan hanya dimanfaatkan kelompok-kelompok yang penuh ambisi ingin menguasai. Kalau hanya dikuasai oleh pihak-pihak yang hanya mementikan diri dan golongannya sendiri, pada akhirnya hal itu merugikan rakyat dan bangsa Indonesia.
"Maka, pesan dari diskusi ini kita secara realistis, dengan positif, tapi dengan mekanisme pertahanan diri dan dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Indonesia. Jangan sampai (OBOR) merugikan kepentingan nasional dan kepentingan negara karena dikuasai oleh kelompok tertentu, oleh satu-dua orang yang disebut sebagai kleptokrat, yang ingin mengeruk keuntungan. Itu harus dicegah," ujar Din.
Dia pun berpesan kepada Pemerintah Indonesia agar harus bisa tegas. Pemerintah jangan membiarkan dan membuka peluang bagi kleptokrat yang hanya ingin mengeruk keuntungan saja tanpa memikirkan nasib rakyat kebanyakan.
Laku kleptokrasi dapat berdalih atas nama kerja sama bilateral atau internasional. Padahal, menurut Din, bisa jadi yang dilakukannya bukan kerjasama antarnegara, melainkan demi kepentingan diri golongannya sendiri.
Din mengaku, secara pribadi tidak menolak megaproyek OBOR. Sebab, sekali lagi ada dimensi positif yang diusungnya. Namun, Indonesia harus secara teguh berpegang pada prinsip politik luar negerinya.
"(Pemerintah Indonesia) harus membawa kesejahteraan bagi rakyat, jangan hanya membuka peluang untuk kelompok tertentu saja," ujarnya.