Kamis 08 Aug 2019 17:57 WIB

Suhu Dingin di Yogyakarta Dipengaruhi Monsun Australia

Masyarakat diimbau untuk tetap menjaga kondisi tubuh agar tetap fit.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Kawasan Tugu Yogyakarta.
Foto: Yusuf Assidiq.
Kawasan Tugu Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dalam beberapa hari terakhir suhu udara yang sangat dingin dirasakan di DI Yogyakarta dan sebagian daerah-daerah di Pulau Jawa. Bahkan, suhu udara dingin kerap dirasakan saat pagi, siang, dan sore.

Pakar iklim Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Emilya Nurjani menilai, suhu dingin yang terjadi di musim kemarau merupakan fenomena normal. Asalnya, aliran massa udara dingin dan kering dari benua Australia.

Aliran itu bergerak menuju benua Asia. Ia menerangkan, angin monsun Australia dengan karakteristik membawa sedikit uap air menjadikan potensi terjadinya pembentukan awan relatif kecil.

Atmosfer dengan tutupan awan yang sedikit menjadikan udara lebih dingin terutama saat malam hari. Tutupan awan yang sedikit membuat pancaran panas dari bumi dilepas langsung ke atmosfer pada malam.

"Hal tersebut menjadikan tidak adanya penambahan panas di bumi, sehingga suhu menjadi lebih rendah dan lebih dingin dari biasanya," kata Emily.

Emilya menyebutkan, kondisi berbeda akan terjadi saat banyak tutupan awan di atmosfer. Sebab, akan menjadikan pancaran panas bumi yang dipantulkan ke atmosfer menjadi terhalang awan.

Sehingga, lanjut Emliya, kembali ke bumi yang menjadikan suhu bumi meningkat. Kemungkinan suhu dingin ini akan terus berlangsung hingga akhir Agustus 2019.

"Namun, jika ada fenomena lain yang memicu terbentuknya hujan, maka suhu dingin ini akan hilang," ujar dosen Fakultas Geografi UGM ini.

Terkait suhu udara dingin ini, Emilya mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kondisi tubuh agar tetap fit. Salah satunya, memakai baju hangat atau tebal agar suhu tubuh tetap terjaga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement