REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, perubahan iklim dapat membuat pemanasan global semakin buruk, dan mengancam ketahanan pangan dunia. Perubahan iklim akan menciptakan sebuah lingkaran setan, di mana harga bahan makanan akan semakin mahal dan langka.
"Siklusnya semakin cepat. Ancaman perubahan iklim akan memengaruhi makanan," ujar ilmuwan iklim NASA, Cynthia Rosenzweig, Jumat (9/8).
Rosenzweig berpendapat, jika warga dunia dapat mengubah cara makan mereka, termasuk menanam bahan-bahan pangan segar dan mengelola hutan dengan baik, maka dapat membantu menyelamatkan kebutuhan pangan dunia serta menyelamatkan planet bumi. Massa daratan Bumi, yang hanya 30 persen dari dunia, secara keseluruhan memanas dua kali lebih cepat.
Sebuah laporan khusus, yang ditulis oleh lebih dari 100 ilmuwan mengusulkan perbaikan dan membuat peringatan dengan lebih sungguh-sungguh. Dalam konferensi pers, para ilmuwan menekankan keseriusan masalah perubahan iklim dan mendesak masyarakat agar melakukan perubahan.
Laporan tersebut menyatakan, perubahan iklim telah memperburuk degradasi lahan, gunung es mencair, dan hutan menjadi lebih rentan terhadap kekeringan, kebakaran, hama, serta penyakit. Selain itu, perubahan iklim juga telah mengurangi jumlah spesies di Bumi.
Stabilitas pasokan makanan diproyeksikan menurun, karena besarnya frekuensi peristiwa cuaca ekstrem yang dapat meningkatkan gangguan rantai makanan. Dalam skenario terburuk, masalah keamanan pangan berubah dari risiko sedang ke risiko sangat tinggi dengan pemanasan yang meningkat 1 derajat celcius.
Rosenzweig mengatakan, salah satu manfaat dari tingginya tingkat karbondioksida adalah dapat membuat tanaman tumbuh lebih subur. Namun, penelitian menunjukkan tingginya kadar karbondioksida dapat mengurangi protein dan nutrisi dalam tanaman. Sebagai contoh, tingginya kadar karbondioksida di udara dalam sebuah percobaan terhadap tanaman gandum menunjukkan, kadar protein yang lebih sedikit yakni sebesar enam persen hingga 13 persen. Selain itu, gandum tersebut memiliki kadar seng yang lebih sedikit yaitu 4 persen hingga 7 persen, dan zat besi antara 5 persen hingga 8 persen.
Laporan tersebut menyatakan, apabila lahan pertanian diolah dengan lebih baik maka memiliki potensi untuk memerangi pemanasan global dan mengurangi polusi karbon hingga 18 persen dari tingkat emisi saat ini pada 2050. Rosenzweig mengatakan, jika penduduk dunia mengubah diet mereka dengan mengurangi konsumsi daging merah dan meningkatkan konsumsi makanan nabati seperti buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian maka dapat menurunkan emisi sebesar 15 persen. Selain itu, pola diet tersebut juga membuat orang-orang menjadi lebih sehat.
"Pengelolaan lahan berkelanjutan dapat membantu mengamankan masa depan yang lebih nyaman," ujar seorang ilmuwan Perancis, Valerie Masson-Delmotte.
Mengurangi limbah makanan juga dapat melawan perubahan iklim. Laporan itu mengatakan bahwa antara 2010 dan 2016, limbah makanan global menyumbang 8 persen hingga 10 persen dari emisi perangkap panas. Saat ini antara 25 persen hingga 30 persen dari total makanan yang diproduksi telah terbuang.
Sebagian besar skenario memprediksi wilayah tropis dunia akan memiliki kondisi iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama pada pertengahan hingga akhir abad ke-21. Pertanian dan kehutanan menyumbang 23 persen gas perangkap panas. Dari 2007-2016 pertanian dan kehutanan menyumbang 5,7 miliar ton karbondioksida ke udara, dan menarik 12,3 miliar ton emisi lahan.
"Jika kita terus mendegradasi ekosistem, jika kita terus mengkonversi ekosistem alami, kita terus melakukan deforestasi dan kita terus menghancurkan tanah kita, kita akan kehilangan subsidi alami ini," ujar seorang ilmuwan di Pusat Internasional untuk Pertanian Tropis di Kolombia, Luis Verchot.
Secara keseluruhan emisi lahan meningkat, terutama karena penembangan hutan Amazon di sejumlah tempat seperti Brasil, Kolombia dan Peru.