REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL — Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in menunjuk duta besar terbaru negara itu untuk Amerika Serikat (AS), Lee Soo-hyuck pada Jumat (9/8). Penunjukan tersebut dinilai cukup kontroversial, mengingat Lee Soo-hyuck pernah menyebut Presiden AS Donald Trump sebagai orang yang ‘berbahaya’.
Pada awal 2000-an, Lee Soo-hyuck merupakan diplomat karir. Ia kemudian menjadi anggota parlemen partai berkuasa dan kepala negosiator dari Korsel dalam pembicaraan enam pihak (six-party) mengenai program nuklir Korea Utara (Korut). Ia juga pernah menjabat sebagai wakil menteri luar negeri.
Dengan jabatan barunya, Lee Soo-hyuck akan bertanggung jawab untuk membimbing hubungan antara Seoul dan Washington. Selama ini, Korsel dan AS merupakan sekutu dan banyak berdiskusi mengenai masalah nuklir Korut.
Namun, dalam sebuah artikel di surat kabar Chosun Ilbo, Lee Soo-hyuck dikatakan sebagai sosok yang kerap mengkritik Trump. Ia pernah berkomentar mengenai sikap miliarder itu, ketika Moon Jae-in berkunjung ke Gedung Putih di Ibu Kota Washington, AS.
Saat itu, Trump menolak Moon Jae-in untuk menjawab pernyataan wartawan. Sebaliknya, ia justru yang mengeluarkan pernyataan dengan mengatakan: “Saya yakin telah mendengar itu sebelumnya.”
Lee Soo-hyuck mengatakan bahwa itulah sikap Trump. Ia juga meyakini bahwa tidak hanya Moon Jae-in yang pernah diperlakukan demikian dan menambahkan bahwa sebagai mantan pengusaha, pemimpin negeri Paman Sam itu memiliki kecenderungan untuk mengatakan hal-hal yang tidak tulus.
“Itu adalah gaya Trump dan saya pikir dia tidak hanya melakukan itu kepada Moon. Sejujurnya, saya benar-benar tidak suka,” ujar Lee Soo-hyuck, tanpa memperjelas apakah ketidaksukaannya itu terhadap Trump secara pribadi atau karena sikap.
Selama ini, Washington dan Seoul dikenal sebagai sekutu yang memiliki kerja sama di bidang keamanan. Setidaknya sekitar 25.800 personel tentara dari AS ditempatkan di Korsel, sebagai bentuk perlindungan dari Korut, pasca-Perang Korea yang berakhir dengan perjanjian gencatan senjata pada 1950.
Namun, Trump berulang kali menuntut Korsel agar membayar lebih untuk kehadiran pasukan AS. Ia bahkan terkesan mengisyaratkan bahwa personel tentara negaranya dapat ditarik dari Negeri Ginseng.
Dalam dua pekan terakhir, Korut telah menembakkan empat set proyektil sebagai bentuk kemarahan atas latihan militer bersama Korsel dan AS. Namun, Trump dinilai meremehkan hal itu, membuat kekhawatiran bagi sebagian warga Korsel yang melihat bahwa Washington hanya mementingkan keamanannya sendiri.
Sementara itu, Korsel juga tengah terlibat dalam pertikaian sengit dengan Jepang, atas masalah perdagangan dan sejarah. Sebaliknya, AS dan Jepang kini memiliki kedekatan yang terlihat dari hubungan Perdana Menteri Shinzo Abe dan Trump, berbeda dengan hubungan bersama Moon Jae-in, yang merupakan mantan pengacara hak asasi manusia berhaluan kiri.