REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah rumah sakit meminta agar pemerintah mengkaji ulang audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan juga surat dari BPJS Kesehatan terkait penurunan kelas akreditasi.
"Kami minta pemerintah untuk mengkaji ulang kembali. Ada dua surat yang diberikan kepada kami, pertama dari BPKP terkait hasil audit dan kemudian surat dari BPJS Kesehatan daerah terkait penurunan kelas rumah sakit," ujar Direktur RSUD Nunukan Kalimantan Utara, dr Dulman MKes SpOG, di Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (10/8).
Dia menjelaskan rumah sakitnya yang awalnya terakreditasi C kemudian harus turun ke D, yang berakibat harus mengembalikan dana sebesar Rp3 miliar ke BPJS Kesehatan. Menurut dia, hal tersebut harus jelas karena terkait pelayanan kesehatan kepada masyarakat. "Terutama kami di daerah perbatasan. Kami berusaha menjaga kualitas agar masyarakat tidak berobat ke negara tetangga."
Dia berharap hal tersebut harus mendapatkan penjelasan lengkap dari Kementerian Kesehatan, agar tak meresahkan masyarakat dan juga rumah sakit. Sementara itu, Direktur Rumah Sakit EMC Tangerang Felix Kasim, mengatakan di Tangerang terdapat sekitar 11 rumah sakit yang mendapatkan rekomendasi penurunan kelas.
"Penurunan kelas ini masih menjadi perdebatan, karena hal tersebut kewenangan dari Kementerian Kesehatan. Kemudian ada juga UU lain yakni UU Otonomi Daerah, yang mengatur mengenai RS di daerah."
Perwakilan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Dr Anitya Irna mengatakan dengan kondisi keterlambatan pembayaran dari BPJS Kesehatan, rumah sakit mengalami kesulitan dalam menjaga mutu. Belum lagi, sejumlah beban yang harus ditanggung rumah sakit seperti pajak yang seharusnya dibayarkan.
"Yang akhir-akhir ini terjadi, yang melakukan tinjauan bukan BPKP, melainkan Kemenkes. Bukan sepihak seperti saat ini. Kami keberatan jika dilakukan secara sepihak," kata Anitya.
Anitya juga menjelaskan pasien yang harus melakukan tindakan hemodialisa, sangat bergantung dengan rumah sakit. Jika BPJS Kesehatan memutuskan kontraknya, maka berakibat pada pasien tersebut.
"Untuk itu, kami meminta perlu ditinjau kembali aturan tersebut," imbuh Anitya