REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belanja negara melalui konsumsi pemerintah dan investasi belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini digambarkan dalam kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas yang memperlihatkan realisasi andil kenaikan belanja negara pada terhadap pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan ekspektasi.
Dalam kurun waktu 2016 hingga 2017, belanja kementerian/lembaga mengalami kenaikan 11 persen. Berdasarkan kajian Bappenas, kenaikan tersebut seharusnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,66 persen pada periode 2017-2018. Namun, realisasinya, andil kenaikan belanja kementerian/lembaga hanya 0,24 persen.
Menteri PPN/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebutkan, kondisi tersebut menunjukkan bahwa belanja pemerintah pusat belum optimal dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Penyebabnya, pengalokasian anggaran sendiri yang belum tepat sasaran.
"Atau, belum memberikan dampak maksimal," tuturnya ketika ditemui usai seminar nasional di kantornya, Jakarta, Senin (12/8).
Bambang menuturkan, untuk memberikan dampak maksimal, maka sasaran suatu program harus jelas. Khususnya mengenai apa pengaruh dari project tersebut kepada perekonomian daerah dan masyarakat di sekitarnya.
Tidak kalah penting, Bambang menambahkan, kementerian/lembaga tidak terjebak pada dana rutin yang tidak akan memberikan dampak ekonomi besar. Misalnya, sekadar meningkatkan belanja pegawai atau belanja barang yang tidak perlu.
"Tapi, kalau peningkatannya lebih ke belanja modal dan belanja barang yang produktif, di situlah dampak maksimalnya dapat tercapai," ujarnya.
Bambang tidak menyebutkan kementerian/lembaga mana saja yang belum melaksanakan belanjanya secara efektif. Sebab, Bappenas tidak melakukan analisa per kementerian/lembaga, melainkan belanja pemerintah pusat secara keseluruhan.
Bambang menjelaskan, permasalahan terbesar pada belanja modal biasanya adalah tidak tepat waktu dalam masa penyelesaian. Dengan begitu, dampak ekonominya menjadi lebih rendah dari yang seharusnya.
Sedangkan, untuk belanja barang, kementerian/ lembaga kerap menggunakan pihak lain. Dampaknya, program mereka menjadi kurang tepat sasaran.
"Misal, ada alat atau kapal yang diserahkan ke masyarakat, tapi ternyata tidak dapat dipakai dengan baik karena tidak sesuai dengan kebutuhan," ucapnya.
Bambang menegaskan, belanja tepat sasaran yang dimaksudnya adalah belanja yang memiliki efek ekonomi secara makro. Lebih khususnya, belanja tersebut mampu mengurangi tingkat kemiskinan maupun kesenjangan intra daerah, mengurangi jumlah pengangguran, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pembahasan belanja pemerintah pusat berkualitas relevan dengan ruang gerak fiskal APBN yang dinilai Bambang tidak banyak. Sebab, ada beberapa belanja rutin yang tidak dapat ditinggalkan atau bersifat mengikat. Misal, belanja pegawai, transfer ke daerah, pembayaran utang hingga kewajiban mengalokasikan 20 persen untuk pendidikan dan lima persen untuk kesehatan.
Bambang menuturkan, Bappenas mendorong belanja pemerintah pusat tidak sekadar menjalankan operasional negara. Belanja dalam APBN harus memiliki peranan lebih, terutama dalam mendorong dan menggerakkan pertumbuhan ekonomi. "Di sini aparat pemerintah dituntut untuk menggunakan anggaran yang terbatas tadi untuk mendorong ekonomi yang berkualitas," katanya.