REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana mengamandemen Undang-undang Dasar 1945 dan mengaktifkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) berpotensi menimbulkan persoalan serius. Agenda tersebut berpotensi mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara.
Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan dampaknya, yakni melemahkan lembaga negara lainnya seperti presiden. "GBHN itu akan menimbulkan permasalahan serius dalam ketatanegaraan kita, karena dampaknya tidak hanya penguatan MPR, tetapi juga pelemahan terhadap lembaga negara yang lain, termasuk presiden," ujar Feri saat dihubungi wartawan, Senin (12/8).
Feri menggambarkan jika MPR mengaktifkan GBHN maka membuat presiden bertanggungjawab terhadap dua lembaga, yakni DPR dalam penyelengaraan undang-undang, dan MPR dalam hal GBHN.
Dengan demikian, ia menilai dampak paling luas dari diaktifkannya GBHN adalah melemahkan sistem presidensial. Ini terjadi jika Presiden dianggap tidak mengikuti arah GBHN yang disusun oleh MPR.
Sebab, hal tersebut akan membuat presiden dianggap melanggar konstitusi. "Presiden dianggap melanggar GBHN, presiden juga akan dianggap melanggar konstitusi juga, jadi ada dampak politik yang menyertai sehingga timbullah pelemahan terhadap sistem presidensial, harus diingat bahwa sistem Pemerintaham presidensial itu sentra kekuasaan ada di tangan presiden," kata Feri.
Feri mengatakan, alih-alih dilemahkan, semestinya sistem presidensial dikuatkan bahwa kekuasaan di tangan rakyat. Menurutnya, bukan justru menguatkan kewenangan MPR, yang berarti mengganti sistem pemerintahan menjadi parlementer.
"Nah dengan memberikan kewenangan itu sama saja, kita mau mengubah sistem ketatanegaraan, dari sistem presidensial, menjadi sistem pemerintahan parliamenter, itu sama saja melanggar konstitusi," ujar Feri.
Karena itu, Feri pun menuding ada kepentingan politik dari PDIP yang begitu gencar mewacanakan amandemen 1945 dan menghidupkan GBHN. Feri menilai, ada upaya agar presiden kembali dikendalikan oleh MPR melalui GBHN.
"Partai saat ini seperti hendak mau mengendalikan presiden melalui GBHN dan MPR. PDIP kan termasuk yang mayoritas, jangan jangan ada misi politik PDIP untuk mengendalikan presiden," kata Feri.
Feri pun menilai langkah tersebut merugikan sistem pemerintahan presidensial. Selain itu, langkah itu hanya menguntungkan partai besar, namun merugikan partai partai kecil.
"Itu tidak boleh, masa karena kepentingan partai sistem ketatanegaraan hendak dirusak, lalu sebenarnya merugikan partai partai lain," kata dia.
Sebelumnya, PDIP dalam Kongres V di Bali memasukkan amandemen terbatas UUD 1945 dan GBHN sebagai salah satu rekomendasi. Bahkan, PDIP akan mengusung agenda tersebut dalam pemilihan Ketua MPR periode 2019-2024. PDIP pun membuka kemungkinan membuat paket pimpinan MPR dengan semua partai, selama mendukung agenda tersebut.
"Kita akan menyepakati komposisi pimpinan MPR dari KIK (Koalisi Indonesia Kerja) atau bersama-sama dengan unsur dari Koalisi Adil Makmur yang bersepakat, yang berkomit, yang setuju untuk diagendakannya amendemen terbatas UUD 45," kata Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah di Inna Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, Ahad (11/8).