REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial Maman Suherman, menilai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak berhak mengawasi konten media streaming Netflix, YouTube, maupuan layanan lain yang sejenis. Menurutnya langkah KPI mengawasi Netflix dan YouTube kurang tepat.
"KPI itu amanatnya mengawasi televisi dan radio frekuensi publik. Di (ranah) situ, bukan di (ranah) broadband seperti Netflix dan YouTube," kata Maman di sela diskusi "Sarasehan Nasional Penanganan Konten Asusila di Dunia Maya" di Gedung Museum Nasional Jakarta, Senin (12/8).
Pria yang akrab disapa Kang Maman itu mengatakan, amanat yang diberikan kepada KPI hanya untuk mengawasi konten free to air yang menggunakan frekuensi publik. "Saya cuma mau bilang, (konten) radio dan televisi saja PR-nya masih banyak. (KPI) tidak usah terlalu luas (pengawasannya)," katanya.
Pengawasan konten digital seperti Netflix, YouTube, atau layanan sejenisnya, menurut Maman, harus dengan undang-undang yang lain dan bukan dengan Undang-Undang Penyiaran.
"Bukan KPI yang punya hak masuk ke situ (konten digital). (Tapi,) lembaga lain. Katanya, KPI mau masuk (pengawasan) ke situ (konten digital). Menurut saya, (langkah itu) kurang tepat," katanya.
Berbeda dengan lembaga penyiaran free to air televisi ataupun radio, aplikasi seperti Netflix ataupun Youtube memiliki aturan layanan yang lebih rinci mencakup batasan umur penonton, setelan dan kendali orang tua, serta aturan lain. Maman menilai layanan konten digital seperti Netflix ataupun Youtube cukup diawasi atau ditindak menggunakan undang-undang lain seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ataupun Undang-Undang Pornografi.
"Kalau KPI tiba-tiba masuk ke sana (layanan digital), buat saya cuma satu. KPI sedang menciptakan wacana ruang kekuasaannya. Menurut saya, masih banyak konten radio dan televisi yang harus diawasi dan dibina," ujarnya.