REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Anggoro Pramudya
Pada 8 Agustus malam 2019, seorang capo alias pemimpin ultras SS Lazio (Irriducibili), Fabrizio Piscitelli, tewas mengenaskan. Kepalanya ditembak oleh orang tak dikenal di bangku taman Parco degli Acquedotti, sebuah taman bekas reruntuhan menara air kuno Romawi.
Kejadian berlangsung pada Rabu malam waktu setempat. Sang eksekutor menggunakan pakaian joging dengan syal di leher dan berlari mendekati arah Piscitelli. Algojo tersebut langsung melepaskan timah panas berkaliber 7,65 mm ke belakang telinga pentolan fan garis keras Lazio tersebut.
Tentu dugaan kuat pelaku merupakan orang sewaan yang ditugaskan untuk menghabisi pria berusia 53 tahun ini. Terlebih, Piscitelli terkenal dengan berbagai aksi premanisme, ekstremisme, dan perdagangan obat-obatan terlarang. Ini di samping kesibukannya menyaksikan pertandingan Lazio di stadion.
Dalam laporan sementara, media Italia menduga Piscitelli yang kerap dijuluki Diabolik baru-baru ini menjadi incaran investigasi narkotika. Pembunuhnya pun dikaitkan dengan geng narkoba rival yang hendak menuntut balas.
Bahkan, Diabolik dan kelompoknya, Irriducibili, yang menetap di tribun (Curva Nord) Stadion Olimpico, Roma, tak pernah jauh dari kontroversi. Piscitelli merupakan sosok ultra-nasional berhaluan kanan yang mengadopsi faham diktaktor Italia, Benito Mussolino.
Sebelumnya, tepat satu tahun lalu, Ultras Lazio melarang wanita untuk duduk di barisan depan stadion. "La Curva Nord adalah tempat suci, wanita, para istri, atau tunangan, tidak diperbolehkan menduduki 10 baris pertama di stadion," ujar para pemimpin Irriducibili.
Ultras Lazio juga dituduh melancarkan kampanye antisemitisme kepada para penggemar AS Roma yang berbagi stadion sama. Pun, pada partai leg kedua semifinal Coppa Italia versus AC Milan sekelompok pendukung sayap kanan Lazio menyanyikan lagu bernada rasialisme.
Mereka juga melakukan aksi penghormatan kepada mendiang Benito Mussolini di dekat La Piazzale Loreto, alun-alun Kota Milan. Dahulu di tempat tersebut, sang diktaktor keji tersebut dieksekusi mati oleh rakyatnya sendiri pada 1945.
Sejatinya, Piscitelli tidak terlalu tertarik dengan sepak bola. Pada saat remaja, baginya pertandingan sebenarnya adalah dengan ultras saingan. Dia diibaratkan sebagai lelaki bengis yang menghantui setiap sudut di sekitar stadion.
"Demi kebaikan Lazio, dia (Piscitelli) pernah berkata, kami ingin melukai orang di sisi lain, kami ingin pergi ke teras dan membunuh mereka. Pertempuran, membuatnya merasa hidup," sebagaimana dikutip the Guardian, Senin (12/8).
Selalu ada sisi gelar pada ultras. Mereka telah menjadi pusat kekerasan paling banyak di altar sepak bola dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Di setiap kota, ultras selalu mengintai dengan cara yang sama, yaitu perkelahian, penusukan, penembakan, membuat aliansi, dan kesepakatan bisnis serta politik kepada pihak klub atau pun organisasi underground di tempatnya berada.
Menukil dari catatan buku Tobias Jones, Inside Italy's Ultras; the dangerous fans who control the game, dikatakan bahwa para ultras diberikan toleransi oleh klub karena mereka telah menjelma menjadi kelompok yang kuat dalam mendukung banyak tim, termasuk dalam urusan tiket penonton.
"Para ultras menerima tiket gratis, dan ancaman gangguan publik selalu ada. Sekarang seluruh area teras utama stadion-stadion di Italia didominasi oleh kelompok neo-fasis yang mencari celah kriminal, berulang kali terlibat dalam perdagangan narkoba dan kekerasan," ujar Jones.
Piscitelli membentuk sekelompok garis keras Irruducibili bersama dengan rekannya, Antonio Grinta atau yang akrab dikenal Grinta pada Oktober 1987 silam. Keduanya memegang kendali penuh atas pergerakan Laziali di Curva Nord Olimpico.
Pada puncak kekuasaannya, Piscitelli bersama Irruducibilli dapat mengabulkan apa pun yang ia inginkan di dalam stadion dan membuat pihak kepolisian di Italia merasa jengah. "Piscitelli bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Dia bahkan dalam sekejap bisa saja mengatakan hal seperti 'mari kita tembak dia'. Kekuatan dan jaringannya sangat besar," ujar seorang perwakilan serikat polisi, beberapa waktu lalu. ed: gilang akbar prambadi