REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial Maman Suherman mengatakan, definisi tentang pelanggaran kesusilaan perlu dirinci dalam undang-undang. Itu diperlukan dalam penentuan seseorang dianggap melanggar aturan kesusilaan atau tidak.
"Aturan itu detail saja, tidak usah malu-malu mengucapkan apakah menampilkan bokong, payudara, atau paha (itu disebut) asusila. Sebut saja jelas di dalam undang-undang," kata Maman di sela-sela diskusi bertajuk "Sarasehan Nasional Penanganan Konten Asusila di Dunia Maya" di Gedung Museum Nasional di Jakarta, Senin.
Maman mengatakan bahwa undang-undang belum ada yang secara tegas menentukan pelanggaran asusila, khususnya dalam konten digital. Pria kelahiran Makassar itu mencatat setidaknya ada 10 aturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum terkait konten susila.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Penertiban Perjudian, Undang-Undang Perfilman, Undang-Undang Pers, dan Undang-Undang Penyiaran termasuk di antaranya. Demikian juga dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Kesehatan, dan Undang-Undang Pornografi.
"Tetapi harus jujur diakui bahwa (undang-undang itu) tidak secara detail betul menggambarkan apa definisi kesusilaan," katanya.
Maman mengatakan, undang-undang itu hanya menyebut soal eksploitasi, pemameran aktivitas seksual, ataupun menawarkan maupun mengiklankan layanan-layanan seksual, sehingga mudah dikenakan pelanggaran aturan. Definisi yang perinci tentang kesusilaan dalam undang-udang, menurut Maman, dapat menentukan apakah konten digital, seperti milik akun Youtube Kimi Hime, dapat disebut telah melanggar susila atau tidak.