REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Penangkapan dan deportasi guru asing di Cina pada tahun ini melonjak. Empat firma hukum mengatakan kepada Reuters, permintaan menjadi perwakilan yang melibatkan guru asing meningkat sebanyak 10 kali lipat dalam enam bulan terakhir.
Lembaga pendidikan Education First (EF) yang berbasis di Swedia dan mengelola 300 sekolah di 50 kota di Cina mengalami peningkatan penahanan terhadap para guru secara signifikan. Mereka diduga melakukan sejumlah pelanggaran, termasuk narkoba, perkelahian, dan pelanggaran keamanan siber.
Staf EF dijemput oleh polisi di rumah, sekolah, bar, dan klub malam. Mereka diinterogasi dan harus melakukan tes urine untuk mengetahui kadar narkoba yang ada dalam tubuh mereka. Sekolah telah menerima peringatan dari kedutaan besar Swedia mengenai meningkatnya penangkapan terhadap guru asing.
Juru bicara EF menolak memberikan komentar lebih lanjut. Juru bicara tersebut menegaskan, lembaga pendidikan tersebut menjalin kerja sama yang baik dengan otoritas Cina dan mengingatkan staf serta para guru mengenai kebijakan peraturan serta kepatuhan.
Sebuah sekolah internasional di Beijing secara terpisah mengonfirmasi penangkapan terhadap guru asing meningkat tajam. Sementara, Biro Keamanan Publik dan Departemen Pendidikan Cina tidak memberikan komentar terkait penangkapan guru asing tersebut.
"Ada tekanan luar biasa bagi mereka agar dapat menjaga segala sesuatunya tetap bersih. Ini semua adalah bagian dari ide (Presiden) Xi untuk memastikan Cina menunjukkan wajah yang baik kepada seluruh dunia," ujar Kepala pengacara di Kantor Hukum IPO Pang Xingpu, Peter Pang, Selasa (13/8).
Penahanan guru asing tersebut terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara China dan negara-negara barat termasuk Amerika Serikat (AS) dan Australia. Pada 2017, Cina memiliki sekitar 400 ribu warga asing yang bekerja di sektor pendidikan. Pekerja asing di sektor pendidikan sebetulnya sudah lama kerap melanggar peraturan di Cina. Beberapa guru asing di Cina diketahui bekerja tanpa visa.
Banyak kasus hukum yang melibatkan guru asing terkait narkoba. Kepolisian kerap melakukan inspeksi mendadak di rumah atau tempat kerja para guru asing tersebut. Tiga mantan guru asing dari dua sekolah di Beijing dan Shanghai mengatakan, mereka beberapa kali melakukan uji narkoba setelah menginjakkan kaki di Cina serta diinterogasi secara intensif.
Seorang guru asal Florida yang dideportasi setelah ditahan selama 10 hari di Beijing mengatakan, dia dan seorang rekannya menjalani tes urine pada hari pertama tiba di Beijing. Hasil tes urine menunjukkan dia tidak menggunakan narkoba.
Namun, beberapa waktu kemudian polisi melakukan inspeksi mendadak di sekolah tempat dia mengajar dan melakukan uji narkoba. Hasilnya, polisi menemukan jejak ganja pada rambutnya.
"Saya tidak pernah menyentuh narkoba di Cina," ujar pria yang tidak mau disebutkan namanya.
Tes rambut dapat mendeteksi ganja hingga 90 hari. Dengan demikian, para guru asing yang datang dari negara yang melegalkan ganja sangat rentan terjaring razia.
"Pengujian rambut dapat mendeteksi ganja dari bulan sebelumnya," ujar Dan Harris, managing partner dari firma hukum Harris Bricken yang berbasis di Seattle.
Perilaku guru asing di Cina menjadi sorotan pada bulan lalu ketika 19 warga asing, termasuk tujuh staf EF ditangkap di kota Xuzhou atas tuduhan narkoba. Kasus ini menuai kritik keras di media pemerintah yang mendorong pemberantasan pengaruh asing di seluruh sekolah di Cina.
September lalu, Cina meluncurkan kampanye secara luas untuk menghilangkan pengaruh asing dari pendidikan, termasuk melarang mata pelajaran sejarah asing, melarang materi otodidak, dan merevisi buku teks untuk fokus pada inti ideologi Partai Komunis. Upaya selanjutnya, Kementerian Pendidikan China melakukan inspeksi mendadak secara acak di sejumlah sekolah untuk menyampaikan tentang nilai-nilai sosialis dan patriotisme, serta cinta tanah air.
Seorang guru bahasa Inggris, Emily (25 tahun) dari Utah, AS mengatakan, sebuah sekolah di kota Chengdu menahan paspornya selama 10 pekan pada akhir 2018. Mereka menolak mengembalikan paspor milik Emily. Bahkan Emily sempat mengancam akan memanggil polisi apabila paspornya tidak segera dikembalikan.
"Selalu saja ada alasan, seperti mendaftarkan asrama saya dengan polisi atau administrasi untuk mentrasnfer visa saya. Pada satu titik mereka mengatakan mereka menyimpan paspor saya dengan aman," kata Emily yang meminta agar nama lengkapnya tidak dipublikasikan.
Sekolah tempat Emily mengajar di Chengdu tidak memberikan komentar. Sementara karyawan sumber daya manusia (SDM) yang memegang paspor Emily juga menolak mengomentari kasus tersebut. Berdasarkan dokumen di sekolah tersebut, Emily menerima kenaikan gaji menjadi 16 ribu yuan per bulan. Uang gajinya dipotong 1.200 yuan untuk membayar biaya agensi yang membawa Emily.