Selasa 13 Aug 2019 23:13 WIB

JK Minta Wacana Hidupkan GBHN Tak Ubah Sistem Ketatanegaraan

GBHN secara prinsip itu bagus, asal jangan mengubah seluruh sistem lagi

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Esthi Maharani
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (13/8).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (13/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla merespon wacana untuk kembali menghidupkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen terbatas UUD 1945. JK menilai gagasan GBHN secara prinsip bagus. Namun demikian, JK meminta wacana GBHN tersebut tidak sampai mengubah sistem ketatanegaraan.

"Kalau hanya GBHN secara prinsip itu bagus, asal jangan mengubah seluruh sistem lagi. Karena (sistem yang ada saat ini) itu juga hasil MPR baru 15-16 tahun itu," ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (13/8).

Baca Juga

JK beralasan keberadaan GBHN memang penting untuk program perencanaan pembangunan negara jangka panjang. Namun, GBHN sama halnya dengan Rangka Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang merupakan pengganti GBHN sejak amandemen UUD 1945 sebelumnya.

JK melanjutkan, yang berbeda RPJMN diusulkan oleh presiden terpilih, sementara GBHN merupakan kesepakatan antara MPR dan pemerintah.

"Sekali lagi kita ada RPJMN, (ada) UU juga mengikat juga. Cuma itu berasal dari pada hasil kampanye presiden, ini dibalik. GBHN itu, ini loh yang harus anda kerjakan. Kalau sekarang, ini yang akan saya kerjakan," kata dia.

Untuk itu, JK menilai yang perlu diantisipasi justru efek dari menghidupkan GBHN, khususnya kewenangan lembaga MPR apakah menjadi negara tertinggi.

"Cuma memang efeknya yang harus dikaji ulang. Apakah itu membuat MPR menjadi lembaga tertinggi lagi? Tentu ini akan dikaji DPR, karena MPR itu membawahi DPR lagi," ujar JK.

Karena saat ini, menurut JK, sistem ketatanegaraan menempatkan kedudukan eksekutif presiden, legislatif baik DPR/MPR dan lembaga yudikatif seperti MA, MK sejajar. JK berharap amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan GBHN tidak menyebabkan masalah-masalah.

"Yang memang harus dikaji bagaimana ini tidak menyebabkan masalah masalah yang perubahan struktur kenegaraan yang lebih, termasuk amandemen, bagaimana membatasi, itu jadi masalah," kata JK.

Menurut JK, jika GBHN sampai mengubah sistem ketatanegaraan akan beresiko menimbulkan kerumitan dan penolakan dari banyak pihak. Salah satunya jika presiden kembali dipilih melalui MPR.

"Rumit lagi dan beresiko. Banyak perubahan yang rakyat belum tentu setuju, contoh, presiden dipilih MPR karena lembaga tertinggi. Maka dia berhak memilik presiden. Kalau gitu lain lagi soal. Apakah rakyat setuju haknya diambil untuk pemilihan langsung," kata JK.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement