Selasa 13 Aug 2019 16:30 WIB

HRW Minta India Pulihkan Akses Komunikasi di Kashmir

HRW menyerukan India segera menarik pasukannya dari Kashmir.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Tentara paramiliter India berpatroli saat jam malam di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Rabu (7/8).
Foto: AP Photo/Dar Yasin
Tentara paramiliter India berpatroli saat jam malam di Srinagar, Kashmir yang dikuasai India, Rabu (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) menyerukan India memulihkan akses komunikasi di wilayah Kashmir. Sepekan setelah India mencabut status istimewa Kashmir, warga di sana masih terisolasi.

“Orang-orang Kashmir sebagian besar masih terisolasi, para pemimpin mereka ditahan. Telepon, bahkan jalur darat, masih terputus. Internet dihentikan. Masjid utama mereka tetap tertutup bagi Muslim Kashmir selama Idul Adha,” kata Direktur HRW Asia Selatan Meenakshi Ganguly pada Senin (12/8), dikutip Anadolu Agency.

Baca Juga

Dia pun mengomentari tentang adanya aksi penangkapan oleh otoritas India terhadap sejumlah warga dan politikus di Kashmir. “Ada laporan yang belum dikonfirmasi tentang berbagai penangkapan yang sedang berlangsung, termasuk aktivis,” ujarnya.

Menurutnya, otoritas India harus segera membebaskan tahanan politik, mengakhiri pemutusan akses komunikasi, dan memungkinkan akses yang tepat kepada media serta pengamat independen ke Kashmir. Hal itu perlu dilakukan untuk memulihkan situasi di sana.

Ganguly pun menyerukan India segera menarik pasukannya dari Kashmir. Dia mengatakan, gerakan separatis yang didukung Pakistan di Jammu dan Kashmir India telah merenggut lebih dari 50 ribu jiwa sejak meletus pada akhir 1980-an.

“Respons pasukan keamanan (India) meliputi pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan. Lebih banyak pelanggaran HAM jelas bukan apa yang diinginkan kebutuhan regional,” ucapnya.

Dia mendesak India memastikan keadilan dan pertanggung jawaban atas pelanggaran HAM dilakukan pasukannya di Kashmir. Hal itu dapat dimulai dengan mencabut Undang-Undang Keamanan Publik atau Undang-Undang Kekuatan Khusus Angkatan Bersenjata yang memberi pasukan pemerintah kekebalan dari penuntutan.

“Sementara hukum internasional memang memungkinkan pemerintah untuk sementara menangguhkan beberapa hak dalam keadaan luar biasa, ini tidak dapat dibiarkan menjadi ‘normal’ yang baru. Kecuali jika India ingin mengobarkan ketegangan di Kashmir untuk generasi lain, pemerintah India perlu mundur, dan cepat,” kata Ganguly.

Pekan lalu India mencabut status istimewa Jammu dan Kashmir yang telah disandangnya selama hampir tujuh dekade. Perdana Menteri India Narendra Modi beralasan keputusan itu diambil untuk menyatukan Kashmir sepenuhnya dengan India. Selain itu, dia pun hendak membebaskan wilayah tersebut dari kelompok teroris dan separatis.

Keputusan itu tak hanya memicu kemarahan dari warga Kashmir, tapi juga Pakistan. Ia memutuskan menurunkan hubungan diplomatiknya dengan India.

Selain itu, Islamabad pun menangguhkan semua aktivitas perdagangannya dengan New Delhi. Pakistan mengatakan akan membawa permasalahan pencabutan status istimewa Jammu dan Kashmir oleh India ke Dewan Keamanan PBB.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement