Rabu 14 Aug 2019 06:45 WIB

Saat Pemerintah Kumpulkan Keturunan DI/TII

Pembacaan ikrar dinilai sebagai aksi panggung khas Wiranto sejak zaman Soeharto.

Menko Polhukam Wiranto (keempat kiri atas) berfoto bersama dengan perwakilan Keluarga Besar Harokah Islam Indonesia, mantan anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) usai pembacaan ikrar setia kepada Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika di Jakarta, Selasa (13/08/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Menko Polhukam Wiranto (keempat kiri atas) berfoto bersama dengan perwakilan Keluarga Besar Harokah Islam Indonesia, mantan anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII) usai pembacaan ikrar setia kepada Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika di Jakarta, Selasa (13/08/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Ronggo Astungkoro

Sebanyak 14 orang yang berasal dari keluarga besar Harokah Islam, eks-Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)-Negara Islam Indonesia (NII) berikrar kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Mereka berikrar di hadapan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.

Proses pembacaan ikrar berlangsung selama kurang lebih 40 menit. Ikrar dibacakan oleh empat orang yang menjadi perwakilan dari kelompok tersebut. Salah satu di antaranya adalah putra tokoh utama DI/TII-NII, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yakni Sarjono Kartosoewirjo.

Selain Sarjono, ada juga Aceng Mi'raj Mujahidin Sibaweh, putra imam DI/TII terakhir H Yudi Muhammad Aulia (cucu KH Yusuf Taujiri dan Prof Anwar Musaddad, pendiri DI/TII). Lalu, KH Dadang Fathurrahman, cucu dari Syaikhona Baddruzzaman yang merupakan guru Kartosoewirjo, Imam Sibaweh, Prof Mussadad, dan KH Yusuf Taujiri.

Setelah ikrar dibacakan, Wiranto memberi sambutan. Kemudian, pembacaan doa dilakukan. Berikutnya, satu persatu dari mereka yang berikrar mencium bendera Merah Putih dan bersalaman serta berpelukan dengan Wiranto.

"Hari ini mereka berikrar, sadar mengajak para pendukungnya, simpatisannya, para keturunannya untuk bersama-bersama berikrar bahwa satu-satunya ideologi di negeri ini adalah Pancasila. Itu luar biasa dan mengakui keberadaan NKRI sebagai wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Wiranto seusai kegiatan itu dilaksanakan di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (13/8).

Pada pidatonya saat proses pembacaan ikrar berlangsung, Wiranto menceritakan versi resmi pemerintah tentang perlawanan DI/TII pada masa awal kemerdekaan, yakni sejak 1949 hingga 1962. Ia mengatakan, negara Islam yang diproklamasikan Kartosoewirjo di Jawa Barat semata pemberontakan terhadap republik secara ideologis.

Namun, versi sejarah lainnya mencatat, latar utama berdirinya DI/TII dipicu kekecewaaan para laskar terhadap Perjanjian Renville. Selain itu, ada keberatan dari Kartosoewirjo dan pasukannya di Jawa Barat atas kebijakan pengangkatan tentara nasional di pusat. "Dalam perjalanannya negeri ini membangun, pada 7 Agustus 1949 ada proklamasi NII," tutur Wiranto.

Wiranto menceritakan secara singkat bahwa gerakan DI/TII diinisiasi pasukan perjuangan Hisbullah dan Sabilillah yang terus memperjuangkan ideologi baru melalui gerakan bersenjata. "Sampai 1962. Gerakan bersenjata yang berpusat di Jawa Barat, tepatnya waktu itu di Tasikmalaya, dapat dinetralisir," kata eks panglima ABRI ini.

Meski organisasinya sudah habis dan tidak berfungsi, Wiranto menjelaskan, ideologi gerakan yang menentang Pancasila tetap berjalan dan berkembang di kalangan pendukungnya. Itulah, kata Wiranto, ideologi yang kemudian menjadi embrio gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia, seperti Komando Jihad, Mujahidin Nusantara hingga Jamaah Islamiyah. "Semua derivasi, turunan ideologi yang menentang Pancasila," kata Menko Polhukam.

Lewat pembacaan ikrar ini, Wiranto bersyukur karena mereka telah sadar persatuan itu penting bagi keberlangsungan bangsa dan negara. Ia pun berharap kesadaran semacam itu tidak hanya berlaku bagi kelompok itu saja. "Mudah-mudahan momen ini menjadi contoh yang baik untuk teman-teman yang belum sadar," kata dia berharap.

Sarjono mengatakan, ia dan kawan-kawan baru menyatakan ikrar saat ini karena baru mendapatkan dukungan. "Dari pemerintah, Menko Polhukam, dari kawan-kawan yang mengelilinginya. Kita harus mendapat dukungan dulu. Kalau dari saya seorang diri, ngapain?" ujar dia.

Ia juga mengaku tidak merasa berkhianat terhadap apa yang dulu dilakukan oleh ayahnya dengan membaca ikrar tersebut. Perjuangan, kata dia, berubah-ubah setiap saat. “Dulu berjuang itu pakai senjata, sekarang senjatanya enggak ada. Mau berjuang pakai apa?" kata dia.

Ia memperkirakan, saat ini jumlah anggota gerakan NII bisa mencapai 2 juta pengikut. "Saya tidak punya statistik riil, tetapi diperkirakan sekitar 2 jutaan. Perkiraan kasar," kata Sarjono.

Pembacaan ikrar ini baru pertama kalinya dan nantinya, sambung dia, akan dilanjutkan dengan silaturahim dengan anggota lainnya."Dari silaturahim, dari orang ke orang, baru bisa dievaluasi."

Melalui momentum pembacaan ikrar itu, ia mengajak pengikut Harokah Islam Indonesia, DI/TII, NII yang masih tersisa untuk ikut berikrar dan kembali memperkokoh NKRI. "Sebab, kalau negara ini rusak, bocor, ya kita sendiri yang tenggelam," kata Sarjono.

Menurut dia, Indonesia sudah punya TNI untuk membela jika ada serangan dari luar, kepolisian untuk menjaga keamanan dalam negeri, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika ada orang yang korupsi. "Kalau ada yang memecah ideologi, siapa? Kita adalah bagian yang harus membela ideologi," ujar Sarjono menegaskan.

photo
Menko Polhukam Wiranto (kiri) menyaksikan pembacaan ikrar setia kepada Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika di Jakarta, Selasa (13/08/2019).

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai pembacaan ikrar oleh mantan keluarga besar Harokah Islam, eks-DI/TII-NII sebagai aksi panggung khas Wiranto. “Dari dulu di zaman Soeharto, beliau ini kan sukanya yang model-model deklarasi begini," kata dia.

Karena itu, Khairul mengkawatirkan efektivitas acara tersebut terhadap tujuan aslinya. "Bisa sangat kecil efektivitasnya," ujar dia saat dihubungi Republika, Selasa (13/8).

Pada Orde Baru, Khairul memaparkan, Wiranto melakukan deklarasi Gerakan Disiplin Nasional. Kemudian, pada zaman Presiden Habibie ia mendirikan Pam Swakarsa. Sekarang, ia membuat deklarasi setia kepada Pancasila dan NKRI.

Menurut Khairul Fahmi, saat ini terdapat banyak faksi pada eks maupun simpatisan DI/TII. Ia mengatakan, tidak semua dari faksi itu masih dapat dikategorikan sebagai ancaman. Dalam konteks itu, Khairul mempertanyakan seberapa signifikan pengaruh pembacaan ikrar yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tua itu terhadap generasi di bawahnya.

”Akan seberapa signifikan pengaruh deklarasi tokoh-tokoh tua itu terhadap generasi-generasi yang jauh lebih muda, atau bahkan yang tidak beririsan langsung dengan eksistensi DI/TII?" kata dia. n antara ed: fitriyan zamzami

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement