REPUBLIKA.CO.ID, TURPAN -- Seorang pria Uighur, Abdurahman Memet (30 tahun) ditahan karena membocorkan surat orang tuanya dari dalam kamp pengasingan di Xinjiang.
Memet seorang pemandu wisata di Turpan, tahun lalu menerima surat dari orang tua dan saudara lelakinya. Surat tersebut ditulis dari pusat-pusat penahanan di wilayah paling barat. Sebanyak 1,5 juta Muslim diyakini ditahan dalam pendidikan ulang dan kamp-kamp lainnya.
Dilansir dari Guardian Rabu (14/8), pada Juli, surat-surat itu diterjemahkan dan diterbitkan dalam Xinjiang Victims Database, sebuah situs penyimpanan dan pengawas publik. Dokumen-dokumen langka, diantara yang pertama dari dalam kamp itu, menyebar dengan cepat secara online. Dalam waktu kurang dari sepekan Memet menghilang.
Keponakan Memet yang tinggal di luar negeri, Muherrem Muhammad’ali mengatakan, pamannya mengiriminya surat-surat sebagai bukti penahanan banyak orang di keluarga mereka. Dia memutuskan menerbitkannya bulan lalu di basis data.
"Dia percaya surat-surat itu bukti. Di keluarga kami, kami memiliki 10 orang yang ditahan, jadi ini adalah bukti," kata Muhammad'ali, yang memegang surat-surat itu selama hampir setahun sebelum memberikannya kepada para aktivis untuk diunggah secara online.
"Saya ingin mempublikasikan pengalaman keluarga saya, untuk membangkitkan hati nurani orang untuk mengatakan tidak pada rezim ini dan menyelamatkan orang-orang Uighur, dan menyelamatkan budaya ini. Bukan hanya saya yang telah mengalami nasib ini, tetapi jutaan orang telah melihat rumah tangga mereka hancur dan keluarga terpecah belah. Mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka," ungkap Muhammad'ali.
Kepala Kamp Pendidikan Vokasi Etnis Uighur Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, Mijiti Meimeit (kanan) memandu wartawan yang berkunjung.
Dalam dua hari setelah dokumen diterbitkan secara online, Memet memberi tahu Muhammad’ali dia menerima telepon dari polisi yang ingin tahu dengan siapa dia membagikan surat-surat itu. Pada akhir bulan, Muhammad'ali mengetahui melalui kontak pamannya telah ditahan di Turpan. Polisi di Turpan tidak menanggapi permintaan dari Guardian untuk memberikan komentar.
Surat-surat itu, yang ditujukan kepada Memet dan juga saudara iparnya, tampaknya diberikan untuk menghibur anggota keluarga serta mendukung kamp pemerintah. Kamp tersebut menurut pemerintah China adalah pusat pelatihan kejuruan. Ketiganya memuji kemurahan hati partai dan berjanji setia pada pemerintah.
Tetapi surat-surat itu masih berisi perincian yang mengganggu, menggemakan kritik, serta pengakuan yang merupakan ciri kamp pendidikan ulang yang serupa dalam Revolusi Kebudayaan. Ibu Memet, Ayshemhan Yasin (60 tahun) menulis asrama berada dalam kondisi baik, dilengkapi dengan air panas 24 jam, kamar mandi, dan pendingin ruangan. Para tahanan juga diberikan makanan, tempat tinggal, pakaian, dan bahan belajar secara gratis.
"Saya mengecewakan partai dan pemerintah. Saya mengecewakan masyarakat. Saya berterima kasih kepada partai dan pemerintah karena memberi saya kesempatan untuk berubah! Saya akan selalu mengikuti partai, saya akan selalu mendengarkan partai, saya akan berterima kasih kepada partai," tulis ibunya.
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas Bahasa Mandarin, Januari 2019.
Surat-surat itu menunjukkan kerabat Memet ditahan karena pergi haji atau shalat yang tidak ilegal menurut hukum China. Konstitusi China menjamin warga negara kebebasan berkeyakinan beragama. Para pejabat sering menyangkal kritik terhadap kebijakan Beijing di Xinjiang dengan menyatakan semua warga bebas terlibat dalam kegiatan keagamaan sesuai dengan hukum.
Dalam surat yang lebih panjang, saudara laki-laki Memet menulis kepada istrinya dia menangis dengan air mata kebahagiaan. Ini setelah mendengar dia tidak akan dihukum penjara karen, kejahatan belajar shalat dari ayahnya di usia 15 pada 1987.
Ia akan menerima pelatihan dari guru berpengetahuan dan polisi. Dia mengatakan tinggal bersama para tahanan siang dan malam dan terus-menerus memberikan kelas-kelas dalam bahasa dan hukum nasional. Mantan tahanan berbahasa Uighur itu dideskripsikan dipaksa belajar bahasa Mandarin dan berjanji setia kepada partai komunis.
"Karena kesadaran saya yang rendah terhadap hukum, saya melakukan ibadah haji ke Makkah. Setelah datang ke sekolah ini, ceramah, film, dan instruksi yang diberikan oleh para guru telah memungkinkan saya untuk memahami kesalahan saya. Saya bersyukur atas pengampunan yang ditunjukkan oleh Partai kepada saya," tulis ayah Memet (75).
Aktivis mengatakan penahanan Memet menggarisbawahi upaya pemerintah untuk mengontrol informasi yang mengalir keluar dari Xinjiang. Bahkan ketika pejabat mengatakan pengunjung dipersilakan dan semua kebijakan pemerintah sejalan dengan hukum China dan internasional.
"Penangkapan Memet karena berbagi apa yang pada dasarnya 'surat patriotik' menunjukkan propaganda partai sangat lemah sehingga bahkan harus disaring dan dikirim hanya melalui corong yang disetujui," kata Pendiri Xinjiang Victims Database, Gene Bunin.