REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar kelautan dan perikanan Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, hingga saat ini, produksi ikan sebagian besar masih disumbang dari wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua). Untuk produksi ikan tangkap saja, kawasan Sulampua berkontribusi sebesar 65 persen dari total produksi secara nasional.
“Namun, potensi perikanan laut dan budidaya di wilayah Sulampua belum optimal dikembangkan, padahal bisa meningkatkan perekonomian khususnya nelayan dan petambak,” kata Prof Rokhmin yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Bogor saat menjadi pembicara inti pada Focus Group Discussion (FGD) “Hilirisasi Perikanan Wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua”. FGD itu diadakan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan di Jakarta, Selasa (13/8).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, Rokhmin menyebutkan, sekitar 40 persen nelayan, terutama nelayan ABK, hidup di bawah garis kemiskinan atau pengeluaran kurang dari Rp 400 ribu per orang per bulan. Di wilayah Sulampua juga masih marak pratik illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing oleh nelayan asing.
Di sisi lain, kata dia, overfishing beberapa jenis stok sumber daya ikan (SDI) di sejumlah wilayah perairan dan underfishing di titik perairan lainnya, sehingga menjadi tempat IUU fishing nelayan asing.
Para peserta FGD Hilirisasi Perikanan Wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua berfoto bersama dengan pembicara inti, Prof Rokhmin Dahuri.
Persoalannya adalah sebagian besar atau hampir 90 persen perikanan tangkap merupakan tradisional (low technology and management). Itu sebabnya, sebagian besar nelayan juga belum menerapkan best handling practices ikan hasil tangkapannya. “Akibatnya, kualitas ikan buruk sehingga harga jual rendah, yang sangat merugikan nelayan,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (13/8).
Persoalan lainnya, kata Rokhmin, disparitas sentra produksi perikanan tangkap (luar Jawa) dengan pasar di Jawa. Mayoritas pelabuhan perikanan dan TPI di Sulampau bukan merupakan kawasan industri terpadu, sehingga terkendala persoalan sarana transportasi dan biaya logistik yang mahal.
“Berangkat dari persoalan-persoalan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya percepatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di wilayah Sulampua sebagai basis produksi ikan dari sisi regulasi, teknis, permodalan hingga pemasaran dan memastikan sektor industrinya teritegrasi dari hulu hingga ke hilir. Dengan demikian, tidak hanya dibenahi sisi produsennya atau industri pengolahannya saja,” kata menteri kelautan dan perikanan Kabinet Gotong Royong.
Rokhmin yang juga ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia menyebutkan, banyak nelayan di beberapa daerah susah menjual ikan, sementara banyak pabrik pengolahan ikan malah mengeluh kekurangan bahan baku. “Ke depan, dalam pembangunan pabrik pengolahan ikan harus ada jaminan pasokan bahan bakunya lancar," ujar ketua DPP PDIP Bidang Maritim.
Selain itu, kata Rokhmin, faktor sarana dan prasara dari mulai pelabuhan, kapal dan alat tangkap ikan juga perlu ditingkatkan untuk mengenjot produksi, selain membenahi transportasi pengangkutan ikan dari laut lepas ke daratan.
Apalagi mengingat, saat ini ekspor produk perikanan Indonesia masih kalah jauh dari negara lainnya. "Saat ini, Indonesia baru berada di peringkat ke-14 sebagai pengekspor produk perikanan dunia," ungkapnya.
Rokhmin menuturkan, sektor budidaya juga belum menggembirakan. Ini disebabkan banyak kebijakan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinilai tidak kondusif terhadap industri budidaya atau akuakultur. Menurutnya, sektor perikanan budidaya tidak lagi menjadi prioritas kebijakan pembangunan dari KKP. Sebab, hampir 75 persen kebijakan dan program KKP banyak mengatur seputar IUU fishing dan perikanan tangkap.
“Artinya, kalau begitu, tidak perlu budidaya tapi restocking saja, atau menambah stok ikan/benih pada perairan yang tingkat penangkapannya tinggi,” tuturnya.
Rokhmin menyebutkan, regulasi lainnya yang menghambat adalah Permen KP No. 57/2014 tentang transhipment. Menurutnya, aturan ini tidak bersahabat karena mematikan usaha budidaya kerapu dan ikan hidup lainnya.
Adapun perbaikan dengan menerbitkan Permen KP No. 15/2016 juga tidak menyelesaikan masalah. "Peraturan lainnya yang perlu ditinjau ulang adalah Permen KP No. 1/2015 yang nyatanya mematikan budidaya lobster, kepiting soka, dan kepiting bertelur. Sedangkan Permen KP No.2/2015 menyebabkan penurunan supply ikan rucah, sebagai pakan untuk budidaya kerapu," papar ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu.
Menurut Rokhmin, kondisi permodalan nelayan dan petambak juga perlu mendapat perhatian. Pemerintah melalui koperasi, BUMN, atau swasta harus menjamin ketersediaan sarana produksi bagi nelayan di seluruh wilayah NKRI, dengan harga relatif murah. Pemerintah juga harus memastikan pasar ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga yang menguntungkan nelayan, dan juga terjangkau oleh konsumen dalam negeri. Caranya, dengan membangun kemitraan antara industri (pabrik) pengolahan ikan dengan nelayan.
"Untuk permodalan, pemerintah harus menyediakan kredit kepada nelayan di seluruh wilayah NKRI dengan bunga murah dan persyaratan pinjam relatif lunak,” ujarnya.
Selama ini, kata Rokhmin, nelayan dianggap tidak bankable, sehingga pihak perbankan khawatir terjadi kredit macet. "Harus ada kebijakan afirmatif yang berpihak kepada petani, nelayan dan petambak. Ini tugas kepala daerah dan kementerian teknis terkait yang harus membina mereka sehingga bisa produktif dan terhindar dari kredit macet," ujar Prof Rokhmin Dahuri.