REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Perdana Menteri Palestina, Mohammed Shtayyeh, mengungkapkan alasan di balik mundurnya Palestina dalam proses perdamaian yang ditengahi Amerika Serikat. Hal itu disampaikan Shtayyeh dalam pertemuan dengan 37 anggota Kongres AS di Ramallah pada (13/8).
Pertemuan itu membahas sejumlah masalah di antaranya membayar gaji keluarga para tahanan dan martir yang ditahan di penjara Israel. Selain itu tentang alasan di balik mundurnya Palestina dalam proses perdamaian.
Shtayyeh menegaskan pemerintah AS dengan kebijakannya selama ini telah mendorong berdirinya kegiatan pemukiman Israel, di lain sisi AS membatalkan semua masalah terkait status termasuk wilayah perbatasan, Yerusalem, pengungsi, dan UNRWA.
Shtayyeh mengatakan setiap proses perdamaian semestinya memiliki kerangka acuan yang jelas, selain itu harus sesuai hukum internasional dan resolusi PBB.
Menurut Shtayyeh perlu langkah-langkah membangun kepercayaan semua pihak untuk terwujudnya proses perdamaian. Namun yang terpenting menurutnya adalah penghentian pembangunan pemukiman Israel serta menyiapkan batas waktu untuk mengakhiri pendudukan Israel di wilayah Palestina.
“Proses perdamaian dimulai 28 tahun lalu di Madrid dan tak terbayangkan perdamaian belum juga tercapai hingga sekarang. Perdamaian butuh niat serius, Israel tak punya niat ini dan Amerika juga bias terhadap Israel,” kata Shtayyeh seperti dilansir kantor berita WAFA pada Rabu (14/8).
“Solusi terbaik bagi kami adalah solusi dua negara di sepanjang perbatasan sejak 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina serta dengan solusi yang adil bagi para pengungsi. Kami ingin hubungan Amerika dan Pelestina menjadi independen dari Israel,” katanya.
Shtayyeh juga mengungkapkan Presiden Mahmoud Abbas telah melakukan berbagai upaya dalam empat kali pertemuan dengan Donald Trump untuk mencapai perdamaian yang adil.
Meski demikian, menurut Shtayyeh, Amerika mengambil langkah sepihak yang menjurus pada tumpulnya jalur negosiasi dan politik, terutama dengan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. “Kami tak menghindari perdamaian dan tak menerima apapun dari minimal hak kami,” katanya.