REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara, Bvitri Susanti, mengatakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak sesuai dengan sistem tata negara Indonesia. Dia menyebut halauan negara tidak harus diwujudkan dalam bentuk GBHN.
"GBHN itu tak relevan dengan sistem tata negara kita yang sekarang. Mengapa? kita harus ingat bahwa dulu sebelum amandemen UUD 1945 (amandemen keempat pada 1999-2002), yang namanya GBHN istilah mudahnya adalah 'mandat' Majelis Permusyawaratan (MPR) kepada Presiden," ujar Bvitri dalam diskusi di Gondangdia, Jakarta Selatan, Rabu (14/8).
Adanya mandat itu karena sebelum amandemen UUD yang keempat tersebut, presiden masih dipilih oleh MPR. Sementara setelah amandemen hingga saat ini, presiden sudah tidak lagi dipilih oleh MPR.
Bahkan, kedudukan MPR telah berubah bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Bvitri melanjutkan, ada sejumlah pihak yang mencoba menjustifikasi bahwa GBHN bisa tetap diadakan, presiden pun tetap dipilih oleh rakyat, dan MPR tidak bisa melakukan pemakzulan.
Namun, ia tetap berpandangan percuma jika kondisi seperti itu diterapkan. Sebab, ada biaya politik yang besar tetapi tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh masyarakat luas.
"Saya maksud cost politik adalah keramaian ini, manfaatnya untuk rakyat apa? Misalnya nanti GBHN dipaksakan ada dengan sistem ketatanegaraan yang sekarang, kemudian presiden melanggar terus diapain? Tidak bisa diapa-apain karena presiden bukan dipilih MPR," kata dia.
Bvitri mengingatkan jika haluan negara tidak harus berupa GBHN. Menurut dia, hal yang selama ini dikeluhkan adalah setiap lima tahun sekali, haluan negara selalu berganti karena ganti kepemimpinan adalah hal wajar.
Pergantian kepemimpinan dan program pemerintah itulah yang merupakan bagian dari demokrasi. "Jika kita menilik dulu kondisi Indonesia stabil, itu faktornya bukan hanya karena GBHN. Ada juga faktor presiden yang otoritarian. Sehingga, jika disebut GBHN hanya faktor tunggal kondisi Indonesia yang stabil itu adalah kesimpulan yang melompat," kata dia.
Sementara saat ini, Indonesia sudah memiliki rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Pada 2007, kata Bvitri, RPJP telah dibahas baik oleh Presiden maupun DPR dan sudah ditetapkan sebagai undang-undang.
Dari segi proses dan isi, Indonesia sudah memiliki acuan pembangunan jangka panjang. "Dari segi isi sudah ada. Kemudian dari segi proses, dengan segala kekurangannya, model RPJM dan RPJP lebih partisipatif sebab ada proses yang namanya musrenbang di daerah. Sementara yang namanya GBHN betul-betul disusun MPR saja. Bahkan waktu jaman Presiden Soeharto, biasanya tim beliau yang membuat, " tambahnya.
Sebelumnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merekomendasikan adanya amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, MPR memiliki kewenangan menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
Demi memuluskan rekomendasi tersebut, PDIP saat ini sedang memfokuskan diri agar amandemen UUD 1945 secara terbatas dapat terlaksana. partai berlambang kepala banteng moncong putih itu akan mengusung agenda tersebut dalam pemilihan Ketua MPR periode 2019-2024.