REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lambannya pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar energi baru dan terbarukan, seperti energi panas bumi atau geothermal menjadi sorotan. Hal ini juga tidak luput dari perhatian Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka The 7th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) yang diselenggarakan Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta, pada Selasa (13/8).
JK menilai pengembangan panas bumi di dalam negeri berjalan lambat. Padahal, Indonesia telah mengenal energi panas bumi sejak 35 tahun lalu yang diawali pengoperasian PLTP Kamojang, Jawa Barat.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, FX Sutijastoto, mengatakan, target pengembangan energi panas bumi sebesar 7.241,5 megawatt (MW), sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan target bauran energi sebesar 23 persen pada 2025. Sementara, Ketua Umum API Prijandaru Effendi mengatakan total kapasitas terpasang baru sebesar 1.948,5 MW dan ditargetkan menjadi 2.133,5 MW pada tahun ini. Untuk mencapai target bauran energi pada 2025, kapasitas panas bumi masih membutuhkan sekira 5 ribu MW.
Presiden Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk Hilmi Panigoro mengatakan kritikan JK merupakan tamparan keras bagi seluruh pihak, baik regulator maupun industri panas bumi itu sendiri. Hilmi meminta diskusi tentang pengembangan panas bumi segera diakhiri dan mulai melakukan aksi nyata agar percepatan pengembangan panas bumi bisa terealisasi.
"Sekarang bukan saatnya diskusi tapi tindakan," ujar Hilmi dalam diskusi IIGCE 2019, Rabu (14/8).
Hilmi menilai, pemerintah dan industri harus menemui formula yang tepat mengatasi lambannya pengembangan panas bumi di dalam negeri. Hilmi menyampaikan, keengganan swasta terjun di bisnis investasi panas bumi lantaran tidak adanya insentif yang menarik.
"Saya rasa dalam pemerintahan saat ini transparansi sudah baik. Isu ini bisa didorong lagi untuk mengatur tarif idealnya agar lebih menarik bagi industri," ucap Hilmi.
Hilmi menyebutkan, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi sebesar 12 gigawatt (GW). Namun kapasitas pembangkit tenaga listrik panas bumi (PLTP) terpasang belum mencapai 2.000 MW.
"Ini tantangannya, kalau ditarik semua, industri bermasalah pada pendanaan, oleh karenanya butuh insentif pemerintah," lanjut Hilmi.
Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Dharmawan Samsu mengatakan Pertamina juga fokus dalam mencapai target bauran energi 23 persen pada 2025. Pertamina memiliki lima pilar dalam pengembangan EBT yakni panas bumi, biofuel, green refineries, geo-source atau sumber-sumber energi lain selain dari panas bumi, serta baterai dan kendaraan listrik.
"Itu sedang didalami sangat intens. Kita tidak punya pilihan, harus (EBT). Pertamina mempunyai mandat untuk memasok keberlanjutan energi Indonesia," ujar Dharmawan.
Dharmawan mengatakan Pertamina sedang melakukan diversifikasi agar tidak sekadar menggarap eksplorasi minyak dan gas saja, melainkan juga EBT. Meski begitu, Pertamina tidak lantas mengesampingkan bisnis migas yang menjadi sumber pendapatan utama perusahaan.
Mengenai panas bumi, Pertamina akan berupaya meningkatkan kapasitas PLTP Kamojang, Jawa Barat. Tren saat ini, lanjut Dharmawan, perusahaan multinasional seperti Nike dan Ikea mewajibkan sekian persen energi berasal dari EBT. Potensi ini yang sedang dilirik Pertamina ke depan.
Anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan mulai mengoperasikan secara komersial atau Commercial Operation Date (COD) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lumut Balai dalam waktu dekat. Dharmawan memaparkan, kendala yang masih menghantui industri dalam mengembangkan energi panas bumi masih berada pada aspek pendanaan. Dharmawan mendorong adanya pinjaman lunak dalam upaya mempercepat pengembangan panas bumi.