Jumat 16 Aug 2019 05:15 WIB

Cara Pemerintah Atasi Defisit Neraca Dagang dengan China

Pada Juli lalu, defisit perdagangan Indonesia dan China mencapai 1,8 miliar dolar AS

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menuturkan, defisit neraca dagang pada Juli yang mencapai 63,5 juta dolar AS masih memiliki sisi positif. Sebab, ekspor pada bulan tersebut naik signifikan, yakni 31,02 persen dibanding dengan Juni.

Pertumbuhan ekspor tersebut dinilai Kasan dapat menjadi indikasi geliat usaha di dalam negeri yang baik. Pelaku usaha masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan dalam situasi perdagangan global saat ini.

Baca Juga

"Khususnya terkait perang dagang antara China dengan Amerika Serikat (AS)," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (15/8).

Kasan menambahkan, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan, terutama dengan China yang semakin lebar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dengan China per Juli 2019 defisit 1,8 miliar dolar AS.

Sepanjang periode Januari hingga Juli 2019, Indonesia harus mengalami defisit dari China hingga 11,05 miliar dolar AS. Nilai tersebut naik dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, yakni 10,33 miliar dolar AS.

Salah satu upaya yang disebutkan Kasan adalah membuka akses ekspor berbagai komoditas. Misalnya, sarang burung walet, buah tropis seperti nanas, pisang, salak dan manggis.

"Ini akan diikuti pembyukaan akses ekspor produk lainnya," ujarnya.

Selain itu, Kasan menuturkan, pemerintah melalui Kemendag juga mengundang investasi Cina ke Indonesia. Khususnya investasi untuk membangun industri manufaktur berorientasi ekspor dan bersifat padat karya atau dapat menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah banyak.

Kasan menilai, kini banyak peluang yang harus dimanfaatkan pemerintah untuk menghadapi defisit neraca dagang dengan Cina. Di antaranya, kebijakan Cina yang baru-baru ini menghapus manajemen kuota tarif impor produk minyak kedelai, rapeseed oil dan palm oil. "Ini peluang kita untuk menaikkan ekspor CPO, sehingga mengurangi defisit kita juga dengan Cina," katanya.

Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto menuturkan, defisit Indonesia dengan Cina yang semakin dalam pada tujuh bulan ini patut diwaspadai pemerintah dan pihak terkait.

Dalam catatan BPS, pada Juli, Cina menjadi negara terbesar kedua tujuan ekspor Indonesia dengan nilai 469,7 miliar dolar AS. Tapi, nilai impor Cina ke Indonesia pada waktu yang sama jauh lebih besar, yakni hingga 1,5 miliar dolar AS. Nilai tersebut menempatkan Cina sebagai importir terbesar bagi Indonesia.

BPS mencatat, setidaknya terdapat 20 komoditas utama yang diimpor Indonesia dari Cina. Di antaranya, peralatan listrik, komoditas tambang seperit besi dan baja hingga buah-buahan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement