Jumat 16 Aug 2019 06:18 WIB

Pakar: Defisit Perdagangan Akibat Masalah Domestik

Pertumbuhan industri manufaktur terus melemah sejak kuartal II 2018.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Manufaktur
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Manufaktur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Perdagangan Internasional dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan, masalah defisit perdagangan yang terus terjadi hingga kini akibat persoalan fundamental ekonomi Indonesia. Masalah utama bersumber dari kondisi industri manufaktur di Indonesia yang terus melambat dan berdampak pada penurunan ekspor. 

Menurut Fithra, faktor perang dagang di pasar global seperti yang diklaim oleh pemerintah belum begitu berdampak pada defisit perdagangan. Sebab, hingga saat ini, AS-Cina yang terlibat perang dagang belum melakukan langkah yang konkret dari setiap ancaman yang dilontarkan.

Baca Juga

"Berdasarkan simulasi, tekanan eksternal memang signifikan tapi meluluh dalam waktu dua bulan. Sedangkan tekanan internal akan tahan lebih lama. Jadi saya rasa yang terjadi sekarang adalah kelemahan internal kita," kata Fithra kepada Republika.co.id, Kamis (15/8). 

Pertumbuhan industri manufaktur sejak kuartal II 2018 hingga kuartal II 2019 terus melemah dari 3,88 persen menjadi 3,54 persen. Pertumbuhan manufaktur jauh lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional di level 5 persen. 

Padahal, industri manufaktur menempati posisi pertama terkait perannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Lemahnya pertumbuhan industri manufaktur karena ekosistem industri di Indonesia yang belum baik. Meski pemerintah gencar memberikan insentif, dukungan infrastruktur dan konektivitas masih lemah. 

"Pelemahan ekonomi global seperti yang diprediksi butuh waktu untuk direspons domestik. Defisit ini memang karena kontribusi industri yang masih buruk," kata Fithra. 

Ia mengatakan, kendati terdapat kenaikan signifikan terhadap impor bahan baku yang mencerminkan geliat industri dalam negeri, hal itu tidak serta merta mendorong ekspor nasional. Singkatnya, tingginya impor bahan baku untuk industri belum terkompensasi dari peningkatan ekspor. 

"Elastisitas impor bahan baku terhadap pertumbuhan industri terbatas. Kita impor barang untuk produksi tapi orientasi ekspor kurang," kata dia. 

Karena itu, ke depan pemerintah harus fokus pada peningkatan ekspor, bukan impor untuk bahan baku. Fithra mengatakan, tren ekspor Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perlambatan. Pada semester kedua 2019 ini, kinerja ekspor kemungkinan besar belum mengalami perbaikan. 

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (15/8) melaporkan, neraca perdagangan sepanjang bulan Juli 2019 mengalami defisit sebesar 63,5 juta dolar AS. Nilai ekspor tercatat naik menjadi 15,45 miliar dolar AS. Namun, kenaikan nilai impor lebih tinggi menjadi sebesar 15,51 miliar dolar AS. Adapun secara kumulatif Januari-Juli, perdagangan tembus 1,90 miliar. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement