Sabtu 17 Aug 2019 01:42 WIB

Tradisi Menandu Rumah di Kampung Wates Majalengka

Wakare, Antara Tradisi dan Unjukrasa Kampung Wates

Rep: ayo bandung/ Red: ayo bandung
Tradisi Menandu Rumah di Wates Majalengka
Tradisi Menandu Rumah di Wates Majalengka

MAJALENGKA, AYOBANDUNG.COM -- Sebuah peristiwa di Kampung Wates, Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, diperingati setiap tahun. Diakrabi dengan sebutan Gotong Rumah (Wakare), tradisi ini juga sebagai unjukrasa sekaligus penegasan.

Sebuah bangunan berbentuk rumah berupa bilah-bilah bambu dan beratap rumbia menjadi salah satu benda yang menyedot atensi, Jumat (16/8/2019) siang. Di beberapa sisinya, bilah-bilah bambu utuh menonjol keluar.

Beberapa orang meletakkan bilah-bilah bambu utuh menonjol itu ke bahu masing-masing, sebelum kemudian mulai melangkah menyusuri jalan. Di depan mereka, sejumlah orang menggembala kambing, sedangkan di belakang bangunan rumah yang ditandu itu berjalan mengikuti orang-orang berjumlah lebih banyak yang di antaranya membawa hasil bumi.

Sebuah lagu mengalun mengiringi arak-arakan Wakare. Mereka menyusuri Jalan Lanud Sukani yang berada di kampung itu sepanjang sekitar satu kilometer, dan kembali ke titik keberangkatan.

Arak-arakan didahului aksi teatrikal penjajahan tentara Jepang yang mengusir penduduk pribumi yang tengah berladang. Warga kemudian berbondong-bondong bergerak pindah.

Tradisi Wakare merupakan peringatan peristiwa perpindahan warga Kampung Wates ke Kampung Peusing yang berjarak sekitar tiga kilometer. Mobilisasi massa yang terjadi pada 1942 itu dilatari ketakutan warga setempat atas keberadaan pangkalan udara militer yang dibangun pemerintah Belanda, sebelum kemudian diwarisi Jepang pada masa kolonialisme.

AYO BACA : HUT RI, DPRD Jabar Ajak Masyarakat Perkokoh Persatuan

"Kampung Wates sudah ada sejak 5 Mei 1902. Dulu warga sini pindah karena takut dengan adanya pangkalan udara militer, takut ada peluru nyasar atau pesawat jatuh," beber salah satu tokoh masyarakat Kampung Wates, Daum Solihin (51).

Istri Daum, Eha Julaeha (47), telah turun temurun menjadi warga Kampung Wates. Istilah wakare sendiri, menurut warga setempat berarti selamat jalan/perpisahan yang berasal dari bahasa Jepang.

Sedikitnya 64 kepala keluarga (KK) kala itu pindah dari Kampung Wates ke Kampung Peusing, atas seizin kepala desa (kuwu) Jatisura saat itu. "Dulu kan rumah warga dari bilah-bilah kayu bambu. Jadi bilah-bilah kayu itu dilepas dulu sebelum pindah, baru dibangun lagi ketika sudah sampai di Kampung Peusing," jelasnya.

Selama di Kampung Peusing, warga tak benar-benar meninggalkan Kampung Wates. Setiap pagi mereka mendatangi kampungnya untuk berladang.

Selama sekitar lima tahun mereka menetap di Kampung Peusing. Baru pada 1947 ketika Jepang yang kalah perang pada 1945 dan meninggalkan Indonesia, warga kembali ke kampung asal.

AYO BACA : Kereta Cirebon Ganti Nama, 2.019 Kue Dibagikan Kepada Penumpang

Mereka pun menikmati aktivitas di Kampung Wates tanpa lagi ketakutan atas keberadaan pangkalan udara militer. Namun, sekitar 1948-1949, datang sejumlah tentara udara Indonesia yang kemudian mengklaim tanah-tanah di Kampung Wates.

"Mereka memasang patok-patok. Warga ketika itu diam karena tidak tahu harus bagaimana," ungkapnya.

Daum mengindikasi telah terjadi mal administrasi dari bawah ke atas karena seingatnya, kala itu berlaku kebijakan pengembalian kepada masyarakat atas hal-hal yang sebelumnya dikuasai Jepang. Sampai kini, saling klaim antara warga Kampung Wates dan TNI AU masih berlangsung. Bisa dikatakan, saat ini keduanya tengah 'terlibat' perang dingin.

Menurut Daum, wakare tak sekedar tradisi memperingati peristiwa perpindahan massal itu. Sebenarnya wakare lebih pula sebagai penegasan atas tanah-tanah Kampung Wates sebagai milik warga.

"Ya istilahnya unjuk rasa, tapi dalam bentuk seni tradisi," tandasnya.

Tradisi Wakare telah rutin dilaksanakan setiap tahun mulai 2017. Sedianya, wakare digelar pada 5 Mei setiap tahunnya. Namun, tahun ini, Mei bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga diundur pada Agustus bertepatan pula dengan Hari Kemerdekaan RI.

Selain dalam bentuk tradisi, peristiwa itu kini ditandai dengan keberadaan sebuah museum di salah sudut kampung. Dinamakan Museum Wakare, pembangunannya melibatkan arsitek dari Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten. Museum serupa kubah berkaki itu dibuat dari batu bata yang dibentuk dari tanah liat.

AYO BACA : Jangan Asal! Ini Tata Cara dan Larangan Pasang Bendera Merah Putih

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ayobandung.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ayobandung.com.
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement