REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada salah satu unsur penting yang tidak bisa dilepaskan dari etnis Betawi, yakni unsur Islam dan ulama. Islam dan ulama bagi masyarakat Betawi adalah hal tak terpisahkan.
Ulama memiliki kedudukan penting dan terhormat di mata masyarakat Betawi, terutama kalangan habib. Sementara Islam adalah agama yang melekat bagi orang Betawi, meskipun ada juga sebagian kecil orang Betawi yang beragama non-Islam. Jurnal berjudul Khazanah Intelektual Ulama Betawi Abad ke-19 dan ke-20 yang ditulis Nur Rahmah pada buku Lektur Keagamaan terbitan Kementerian Agama 2018, menjelaskan melekatnya masyarakat Betawi dengan Islam.
Hal tersebut sangat dipengaruhi peran para ulama dalam membawa dan menyiarkan ajaran Islam di tanah Batavia.
Para sejarawan memiliki pandangan yang berbeda terhadap sejarah masuknya Islam ke Batavia atau Jakarta. Sejarawan dan budayawan, Ridwan Saidi, mengatakan Islam datang pertama kali ke Betawi pada awal abad ke-15. Hal itu ditandai dengan berdirinya pesantren Qura di Tanjung Pura, Karawang, Jawa Barat.
"Pesantren Qura yang didirikan oleh Syekh Hasanuddin dari Cempa pada 1491 atau tahun keenam kekuasaan Prabu Siliwangi," kata Ridwan dalam buku Lektur Keagamaan terbitan Puslitbang LKKMO Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2018.
Sementara Abdul Aziz berpandangan bahwa Islam datang ke Betawi pada pasca-penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada 1527. Namun sampai saat ini belum ditemukan data yang pasti kapan sebenarnya Islam masuk ke Jakarta.
Tapi Islam tetap sebuah identitas yang sangat melekat dengan masyarakat Betawi. Dalam prosesnya muncul ulama yang menjadi tokoh masyarakat. Kedudukannya sangat dikagumi dan perintahnya diikuti masyarakat.
Ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang Islam dan mengamalkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Posisinya dalam struktur masyarakat Betawi dianggap sebagai elite pemimpin. Bahkan ulama sangat disegani dan diikuti kepemimpinannya.
Zamakhsyari Dhofier membuat klasifikasi ulama dalam masyarakat Betawi menjadi empat kategori. Pertama, ulama kelas satu, yakni ulama yang ditunjuk majelis taklim di Jakarta. Biasanya para ulama kelas satu sudah dikenal di Jakarta. Kebanyakan adalah ulama-ulama muda lulusan dari universitas di Timur Tengah.
Kedua, ulama kelas dua, yaitu ulama yang dikenal di tingkat kecamatan. Ketiga, ulama kelas tiga, yaitu ulama yang populer di tingkat kelurahan. Keempat, biasanya para guru agama di madrasah.
Sementara, Rakhmat Zailani Kiki membagi ulama menjadi tiga kategori. Pertama, guru, yaitu orang yang menguasai berbagai macam ilmu agama. Guru juga memiliki otoritas dalam mengeluarkan fakta atas segala persoalan. Contohnya Guru Mansur, Guru Mujtaba, Guru Madjid, dan Guru Mughni.
Kedua, mualim, yakni orang yang menguasai ilmu agama namun belum memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Contohnya Mualim Syafi'i Hadzami, Mualim Abdullah Syafi'i, dan Mualim Tohir Rohili.
Ketiga, ustaz, yaitu orang berpengetahuan agama yang cukup dan sering menjadi pemimpin pada upacara-upacara keagamaan. Seperti imam salat atau pemimpin tahlil.