REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dengan kondisi oversupply ayam di kancah domestik dan kebijakan mendesak membuka impor ayam dari Brasil, industri makanan dan minuman (mamin) didorong untuk menyerap ayam dari kedua sektor tersebut. Hal itu agar produksi ayam olahan seperti sosis dan nugget dapat meningkatkan kualitas produk.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyampaikan, Indonesia sudah dalam posisi terdesak sehingga mau tidak mau keran impor ayam Brasil harus dibuka. Sehingga jika dibarengi dengan kondisi oversupply ayam dalam negeri, harusnya hal ini dapat dimanfaatkan oleh industri mamin.
“Jadi sebaiknya kedua ayam dari sektor ini diserap,” ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (19/8).
Sebelumnya Brasil memenangkan sengketa dagang kebijakan impor Indonesia di World Trade Organisation (WTO). Kemenangan tersebut bermula pada 2014 di mana Brasil melaporkan kebijakan impor Indnesia di WTO dan memenangkannya di 2017.
Karena Indonesia tak kunjung membuka keran impornya pada waktu itu, Brasil akhirnya menyeret sengketa ini kembali ke WTO yang mau tidak mau pemerintah Indonesia membuka keran impornya.
Apabila pemerintah menutup keran impor ayam Brasil, kata dia, ke depannya dikhawatirkan bahwa Brasil bakal melakukan retaliasi atau aksi balasan terhadap produk-produk asal Indonesia. Harusnya, dengan kondisi ini sektor industri mamin segera mengambil alih sebab terdapat kesempatan yang cukup menguntungkan dari penyerapan tersebut.
Misalnya, kata dia, ayam Brasil relatif lebih murah jika dibandingkan dengan ayam produksi lokal. Dalam catatannya, Rusli menyebutkan bahwa biaya produksi ayam Brasil hanya menyentuh level Rp 9.400 per kilogram (kg), sedangkan di Indonesia biaya produksinya bisa melejit dua kali lipat sekitar Rp 18 ribuan per kg.
Untuk itu apabila ayam impor tersebut dapat dimanfaatkan industri mamin sambil menyerap produksi ayam lokal, industri menurut dia dapat meningkatkan kualitas produk ayam olahannya.
“Sekarang kan kandungan ayam di produk olahan seperti sosis dan nugget itu hanya 20 persen daging, sisanya ya terigu atau bumbu dan lainnya,” ujarnya.
Dengan penyerapan tersebut, kata dia, kandungan daging dalam produk ayam olahan industri bisa ditingkatkan mulai dari 30 persen hingga 50 persen. Sehingga diharapkan produksi ayam olahan dapat memiliki nilai tambah dan yang terpenting hal itu bakal menguntungkan semua pihak.
Berdasarkan definisi Badan Standarisasi Nasional (BSN), sosis daging adalah produk yang mengandung daging tidak kurang dari 75 persen dengan tambahan tepung atau pati dan bumbu. Kadar protein sosis diatur minimal 13 persen kadar lemak dan maksimlnya sebesar 25 persen, sedangkan kadar airnya maksimal 67 persen.
Dia menjabarkan, dengan kondisi dan posisi tersebut, setidaknya terdapat sejumlah sektor yang diuntungkan seperti peternak lokal, pemerintah (yang tak akan diretaliasi Brasil), konsumen, hingga pengusaha itu sendiri. Karena, kalaupun industri menyerap kedua ayam di sektor itu maka tak serta-merta biaya produksi mereka membengkak.
“Ayamnya kan murah yang dari Brasil itu. Sedangkan ayam peternak mandiri itu jumlahnya relatif sedikit, berbeda dengan yang integrator,” kata dia.
Dengan fakta itu, menurut dia, cara ini juga dapat melindungi sisi suplai di kelangan peternak ayam broiler mandiri. Yang mana apabila tidak ada penyerapan dari pemerintah dan sektor usaha maka kemungkinan kelanjutan usaha ternak di sektor tersebut nihil.
Di sisi lain, apabila pemerintah memang mencanangkan ekspor ayam lokal, diharapkan ekspor dapat berbentuk ayam olahan dan tidak lagi ayam mentah. Sebab apabila ekspor ayam olahan dengan kualitas kandungan daging yang ditambah tadi masuk ke pasar-pasar internasional, dia menjamin akan ada sisi keberlanjutan bagi produk-produk mamin asal Indonesia.
“Di Malaysia dan Timur Tengah produk makanan olahan kita digemari, kalau ini diupayakan, sangat bagus sekali,” ujarnya.