Senin 19 Aug 2019 16:32 WIB

Tradisi Lisan Mengandung Nilai Pendidikan Agama

Indonesia yang kaya akan budaya memiliki banyak tradisi lisan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Agung Sasongko
Tulisan tradisional asal Lampung di atas kertas daluang pada Pameran Daluang, Fuya dan Tapa oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, di Museum Sri Baduga, Kota Bandung, Kamis (24/8).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Tulisan tradisional asal Lampung di atas kertas daluang pada Pameran Daluang, Fuya dan Tapa oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, di Museum Sri Baduga, Kota Bandung, Kamis (24/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia yang kaya akan budaya memiliki banyak tradisi lisan yang masih dijaga oleh sebagian masyarakat. Ketua Tim Peneliti Nilai-nilai Pendidikan Agama Dalam Tradisi Lisan dari Balai Litbang Agama Jakarta, Mahmudah Nur menyampaikan, ada banyak nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan termasuk nilai pendidikan agama.

Mahmudah menjelaskan, masyarakat zaman dulu mendidik anak-anak mereka dengan tanpa menggurui. Melalui cerita-cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai moral, pendidikan agama dan nilai-nilai lainnya, mereka mendidik anak-anaknya supaya menjadi manusia yang baik.

"Jadi cerita-cerita rakyat, salah satu cara untuk mendidik karakter anak dengan tanpa menggurui mereka, melalui tradisi lisan itu mendidik anak-anaknya supaya menjadi baik," kata Mahmudah kepada Republika usai presentasi hasil studi penjajakan penelitian nilai-nilai pendidikan agama dalam tradisi lisan di Hotel Lumire Jakarta, Senin (19/8).

Ia menjelaskan, tradisi lisan sudah berkembang di masyarakat sejak dulu sehingga di dalamnya terkandung nilai-nilai yang terus berkembang dari zaman ke zaman. Mahmudah menyampaikan bahwa pihaknya ingin mengambil nilai-nilai pendidikan agama dalam tradisi lisan. Supaya nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya bisa tersampaikan dan memberikan pelajaran ke anak-anak di zaman sekarang.

Dia mencontohkan tradisi lisan seperti Seren Taun atau upacara adat panen padi yang dilakukan masyarakat Sunda. Memang masyarakat dulu belum memeluk Islam, tapi sekarang tetal memeluk Islam. "Maka Seren Taun dapat dimaknai sebagai ungkapan terimakasih terhadap alam dan Tuhan yang telah memberi keberkahan melalui hasil pertanian," ujarnya.

Dalam sebuah petikan petuah leluhur masyarakat Baduy di Banten dikatakan, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, dan buyut tidak boleh diubah. Mahmudah menerangkan, petuah Baduy tersebut sesuai dengan ajaran agama yang mendidik umatnya untuk berbuat baik kepada alam.

Ia menjelaskan, agama Islam mengajarkan manusia untuk habluminannas dan habluminallah. Artinya manusia diajarkan untuk memiliki hubungan yang baik dengan makhluk Tuhan dan Tuhan. Menjalin hubungan baik dengan makhluk tidak sebatas dengan sesama manusia saja, bisa juga dengan binatang, tumbuhan dan alam.

Ia menambahkan, masyarakat Sunda juga memiliki tradisi lisan berupa ungkapan silih asih, silih asuh, silih asah. Ungkapan tersebut berupa ajaran masyarakat Sunda untuk saling menyayangi dan mengasih sesama manusia. Begitu pula agama mengajarkan manusia untuk hidup rukun, saling menyayangi dan mengasihi.

"Itu nilai pendidikan agama (dalam tradisi lisan) tidak secara langsung, nilai pendidikan agama di sini yang mengubah sikap atau perilaku seseorang dari yang tidak baik menjadi baik, dengan proses tradisi lisan dan berkesenian," ujarnya.

Menurut Mahmudah, tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai pendidikan agama dan sudah diteliti bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Kementerian Agama (Kemenag). Supaya tradisi lisan tersebut tidak punah dan dapat diambil maknanya. Sehingga generasi sekarang mengetahui tradisi lisan agar mengetahui jati diri bangsanya untuk menambah kecintaan terhadap Tanah Air.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement