Selasa 20 Aug 2019 00:22 WIB

ICW Sebut Pemerintah Obral Remisi untuk Koruptor

Pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi berbeda

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah
Foto: Republika/Prayogi
Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sebanyak 130.383 narapidana di seluruh Indonesia memperoleh remisi umum (RU) pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia, Sabtu (17/8) kemarin. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 338 narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi.

"Ini ironi, satu sisi seluruh masyarakat sedang gegap gempita merayakan ulang tahun Indonesia, namun sayangnya Kementerian Hukum dan HAM justru memberi keleluasaan kepada narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman," kata peneliti ICW Wana Alamsyah dalam pesan singkatnya, Senin (19/8).

Wana menjelaskan, mengacu pada regulasi, aturan terkait pemberian remisi telah secara tegas disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 maka patut untuk dipahami bahwa pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi berbeda dengan narapidana tindak pidana umum lainnya.

Sehingga, kata dia, jika pada tindak pidana umum hanya mensyaratkan berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan, namun pada tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 34 A aturan a quo ditambahkan dua poin, yakni bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

"Misalnya pada syarat berkelakuan baik, tentu Kemenkumham harus benar-benar memperhatikan aspek ini. Jangan sampai justru yang terlihat oleh publik adanya narapidana kasus korupsi yang diduga sempat mendapatkan fasilitas sel mewah malah diberikan pengurangan hukuman," tuturnya.

Sehingga, sambung dia, pemberian remisi kepada para narapidana tindak pidana korupsi harus dipandang sebagai pelanggaran prosedur.  Karena, kekhususan remisi pada narapidana tindak pidana korupsi semata-mata dilaksanakan karena kejahatan korupsi telah dikategorikan sebagai extraordinary crime yang mengartikan bahwa perlakuan pada pelaku korupsi tidak bisa disamaratakan seperti tindak pidana lainnya.

"Jadi, tidak dibenarkan jika adanya pernyataan dari Kemenkumham yang menyebutkan pertimbangan pemberian remisi pada narapidana korupsi hanya terbatas pada berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan," tegasnya.

Peneliti ICW lainnya, Kurnia Ramadhana menambahkan, maraknya pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi  juga akan menganggu stabilitas dari pemberian efek jera pada sistem peradilan pidana. Menurutnya, keberadaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) harusnya dimaknai penting sebagai hilir dari pemberian efek jera.

"Jika masih terus menerus terjadi kelonggaran pada pemberian remisi maka kinerja dari penegak hukum pada ranah penyelidikan, penyidikan, dan penunututan serta peran institusi kehakiman pada ranah pemberian hukuman akan menjadi sia-sia saja," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement