REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Amanat Nasional (PAN) mengusulkan agar kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI berjumlah 10 kursi. Tujuannya, agar masing-masing partai politik (parpol) dan juga perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mendapatkan jatah kursi pimpinan MPR.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyampaikan bahwa semua parpol berhak untuk menyampaikan usul, termasuk soal kursi MPR RI dan revisi UU MD3. "Niatnya baik agar semua terwakili di lembaga Permusyawaratan kita tapi ada banyak catatan dari usulan ini," ujar Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (20/8).
Catatan pertama, Mardani menjelaskan, organisasi tetap perlu menetapkan standar efisiensi dan efektivitas. Jumlah pimpinan yang tambun bertentangan dengan prinsip reformasi birokrasi. Meskipun dapat dipastikan asas keterwakilan dari seluruh parpol di parlemen dapat diakomodir.
"Kedua, rekonsiliasi bukan bermakna semua mendapat posisi. Tapi terjadi dialektika yang sehat dan bebas untuk ditujukan hadirnya kebijakan publik yang berpihak pada publik," jelas Mardani.
Selanjutnya, kata Mardani, seharusnya parpol mesti memberi contoh yang baik bagi rakyat. Bahwa MPR RI dijalankan dengan etika dan logika yang benar bukan menjadi ajang mencari posisi dan jabatan. Tentu saja publik menilainya, 10 kursi pimpinan MPR RI sebagai ajang bagi-bagi. Rencananya pemilihan pimpinan MPR RI ini menggunakan sistem paket.
Sebelumnya, Wakil Sekjen DPP PAN Saleh Partaonan Daulay mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait dengan pimpinan MPR. Ia pun meminta partai politik yang setuju penambahan kursi pimpinan MPR RI menjadi 10 untuk ikut dalam revisi ini.
Partai-partai yang memiliki ide yang sama (mendukung 10 kursi pimpinan MPR) diharapkan untuk ikut memikirkan agar revisi UU MD3 bisa dilaksanakan sebelum akhir periode ini," jelas Saleh.