REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Presiden Sudan terguling, Omar al-Bashir telah menjalani persidangan atas dakwaan korupsi, Senin (19/8) waktu setempat. Penyelidik kepolisian Sudan menduga al-Bashir menerima jutaan dolar AS dari Arab Saudi.
Ia didakwa dengan kepemilikan ilegal mata uang asing. Ia terkena pasal pencucian uang karena menerima hadiah secara tidak resmi. Ia mengaku menerima uang tunai 90 juta dolar AS dari bangsawan Saudi.
"Hampir 7,8 juta dolar AS serta serta uang dengan jumlah kecil dalam dolar AS dan pound Sudan, ditemukan di kediaman al-Bashir ," kata Brigadir Jenderal Ahmed Ali dalam memberikan kesaksian di hadapan hakim seperti dilansir Aljazirah, Selasa (20/8).
"Terdakwa memberi tahu kami bahwa uang itu adalah bagian dari jumlah 25 juta dolar AS yang dikirim kepadanya oleh Pangeran Mohamed bin Salman untuk digunakan di luar anggaran negara," kata Ali merujuk pada putra pangeran Saudi.
Penyelidik kepolisian mengatakan, al-Bashir juga menerima dua pembayaran sebelumnya sebesar 35 juta dolar AS, dan 30 juta dolar AS dari mantan Raja Saudi, Abdullah yang meninggal pada 2015. "Uang ini bukan bagian dari anggaran negara dan saya adalah orang yang mengesahkan pengeluarannya," kata Ali mengutip al-Bashir.
Mantan presiden Sudan mengatakan kepada penyelidik bahwa uang Saudi ditukar dan dibelanjakan. Namun, ia tidak dapat mengingatnya bagaimana. Menurut Ali, al-Bashir tidak memiliki dokumen yang memberikan rincian lebih lanjut.
Al-Bashir, yang dipaksa turun jabatan oleh protes pada April, mendengarkan kesaksian tanpa berkomentar saat dia duduk di dalam kurungan logam. Dia hanya berbicara di awal persidangan untuk mengkonfirmasi nama dan umurnya.
Ketika ditanya tentang tempat tinggalnya, pria berusia 75 tahun itu tertawa dan berkata, "Sebelumnya distrik bandara, di markas tentara tetapi sekarang penjara Kobar," kata Al-Bashir merujuk ke kompleks penahanan di mana ia mengirim ribuan orang yang ia jebloskan ke penjara selama 30 tahun pemerintahannya.
Setelah tiga jam mendengarkan kesaksian, pengacara al-Bashir, Ahmed Ibrahim al-Tahir menolak tuduhan tersebut. Menurutnya, memang para pemimpin biasanya memegang sejumlah mata uang. Al-Tahir juga mengatakan, tuduhan terhadap kliennya tidak sah, sebab ia menerima uang yang ditemukan di rumahnya setelah ia digulingkan sebagai presiden.
"Fakta bahwa ada pesidangan terhadap mantan presiden membuktikan bahwa pengadilan itu independen," kata tim pengacara al-Bashir.
Meski demikian, kantor komunikasi pemerintah Saudi belum mengomentari kesaksian tersebut. Sementara sidang berikutnya dijadwalkan dilaksanakan pada Sabtu mendatang.
Selama masa jabatannya, al-Bashir memimpin Sudan melalui beberapa konflik. Ia juga dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kekejaman di wilayah Darfur barat lebih dari satu dekade lalu, dalam perang yang menewaskan sekitar 300 ribu orang dan memaksa 2,7 juta orang keluar dari rumah mereka.
Konflik bertambah panas pada 2003 ketika kelompok etnis minoritas mengunakan kekerasan bersenjata melawan pemerintah yang didominasi Arab al-Bashir. Mereka menuduhnya melakukan diskriminasi dan pengabaian. Al-Bashir juga orang terakhir yang memimpin Sudan bersatu, sebelum kemerdekaan Sudan Selatan pada 2011.