REPUBLIKA.CO.ID, COXS BAZAR -- Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan otoritas Bangladesh pada Selasa (20/8) mulai berkonsultasi dengan sedikitnya 3.000 pengungsi Rohingya untuk menentukan apakah mereka ingin kembali ke kampung halaman.
Lebih dari 730 ribu warga Rohingya lari mengungsikan diri dari Rakhine ke negara tetangga, Bangladesh, setelah tindakan keras yang dipimpin militer dilancarkan pada Agustus 2017. PBB mengatakan tindakan militer itu dilakukan dengan "niat genosida". Banyak pengungsi menolak untuk kembali karena takut kekerasan akan terjadi lagi.
Myanmar telah mengizinkan 3.450 orang untuk kembali, dari daftar lebih dari 22 ribu yang disodorkan oleh Bangladesh.
"Survei dimulai hari ini," Louise Donovan, juru bicara UNHCR di distrik Cox's Bazar di Bangladesh, mengatakan kepada Reuters.
"Pemerintah Bangladesh dan UNHCR bersama-sama akan meminta para pengungsi ini untuk maju dan membahas opsi pemulangan."
Badan tersebut akan mengadakan wawancara rahasia kedua dengan orang-orang yang menyatakan ingin kembali. Wawancara dilakukan guna membahas niat mereka serta memastikan keputusan itu dilakukan secara sukarela.
"Mereka akan diminta untuk mengisi formulir pemulangan sukarela," ujarnya.
Seorang wakil dari upaya bantuan pengungsi Bangladesh juga akan menghadiri wawancara.
"Badan pengungsi PBB telah mulai mewawancarai orang orang Rohingya yang ada di dalam daftar," ujar Mohammad Abul Kalam, komisaris bantuan dan repatriasi pengungsi negara itu, mengatakan melalui telepon.
"Pusat transit, fasilitas transportasi. Semua sudah siap untuk memulai pemulangan pada hari Kamis," ujarnya menambahkan.
Dewan Keamanan PBB pada Rabu (21/8) akan secara tertutup membahas rencana repatriasi terbaru. Pembahasan digelar atas permintaan Belgia, Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat.
Pekan lalu, juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengatakan para pejabat telah memeriksa daftar pengungsi untuk menentukan apakah mereka pernah tinggal di Myanmar dan terlibat dalam serangan terhadap militer.
Konflik 2017 diawali dengan serangan terhadap pasukan keamanan oleh para pemberontak yang menyebut diri mereka Pasukan Keselamatan Arakan Rohingya, yang oleh Myanmar diklasifikasikan sebagai organisasi teroris. Upaya sebelumnya, untuk membujuk Rohingya agar pulang ke Rakhine, gagal karena ditentang oleh para pengungsi.