Selasa 20 Aug 2019 20:03 WIB

Dua Pekan Terakhir, Industri Serap 100 Ribu Ton Garam Lokal

Industri membeli garam di tingkat petani dengan harga Rp 700 per kilogram

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Petani memasukkan garam ke dalam karung saat panen raya di Desa Tanggultlare, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (10/8). Garam di wilayah tersebut dijual Rp35.000 per keranjang atau Rp300 hingga Rp400 per kilogram tergantung kualitas.
Foto: Yusuf Nugroho/Antara
Petani memasukkan garam ke dalam karung saat panen raya di Desa Tanggultlare, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (10/8). Garam di wilayah tersebut dijual Rp35.000 per keranjang atau Rp300 hingga Rp400 per kilogram tergantung kualitas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) sudah menyerap 100 ribu ton garam petani lokal sepanjang dua pekan terakhir. Penyerapan dilakukan seiring dengan penandatanganan kerja sama antara 11 industri pengolah garam dengan 164 petani garam di dalam negeri pada pekan pertama Agustus. 

Sekretaris Jenderal AIPGI Cucu Sutara menyebutkan, dalam penandatanganan kerja sama tersebut menargetkan industri dapat menyerap 1,1 juta ton garam petani lokal. Komitmen tersebut berlaku hingga Juli 2020.

“Kita menyerap terus sampai hari ini,” ujarnya ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (20/8). 

Dalam penyerapannya, Cucu menjelaskan, industri membeli garam di tingkat petani dengan harga Rp 700 per kilogram untuk garam dengan kualitas II. Sedangkan, garam dengan kualitas pertama dibeli di tingkat Rp 900 per kilogram. 

Cucu mengatakan, kualitas garam lokal yang masih belum memenuhi sejumlah kriteria masih menjadi hambatan penyerapan oleh industri. Misalnya, kadar air yang masih berada di atas satu persen. Padahal, industri membutuhkan garam dengan kadar air maksimal 0,5 persen. 

Di sisi lain, Cucu mengakui, harga juga menjadi hambatan berikutnya bagi industri. Sebab, harga ini mempengaruhi daya saing industri, terutama saat bersaing dengan produk dari Cina yang jauh lebih murah.

“Kita akan kalah dan jadi negara importir,” tuturnya. 

Cucu sendiri tidak dapat menyebutkan disparitas harga antara garam lokal dengan impor. Hanya saja, ia menyebutkan, biaya pengolahan produksi petani dalam negeri memang lebih panjang sehingga membutuhkan biaya tinggi. Khususnya dalam proses pencucian yang tidak perlu dilakukan saat mengolah garam impor. 

Tapi, Cucu memastikan, kondisi tersebut dapat diantisipasi oleh industri. Apabila kualitas garam lokal sudah memenuhi standar, para pengusaha dapat mempertimbangkannya. “Kami nggak masalah. Tinggal sekarang aneka pangan mau atau tidak, seperti Indofood dan Unilever,” katanya. 

Untuk mengakali kualitas garam lokal yang belum memenuhi kriteria industri, Cucu menganjurkan luasan lahan garam dapat diperluas dan dikelola oleh industri. Sebab, selama ini, lahan para petani lokal cenderung kecil dan dikelola oleh rakyat atau bersifat padat karya. 

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, lahan garam seluas 2.600 hektar di Nusa Tenggara Timur (NTT) diharapkan dapat membantu menjawab kebutuhan industri terhadap garam yang sesuai spesifikasi. Pemerintah mendorong seluruh pihak yang berinvestasi di sana untuk menghasilkan garam industri. 

Tapi, Abdul mengakui, hasil produksi dari lahan garam NTT baru dapat digunakan pada 2021. Nantinya, ia memperkirakan, penyerapan garam dari lahan NTT dapat digunakan untuk berbagai industri. Khususnya industri makanan dan minuman yang memang memiliki kebutuhan garam dengan spesifikasi tertentu paling banyak.

“Prioritaskan untuk mamin (makanan dan minuman),” tuturnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement