REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
“Sesungguhnya hati itu dapat berkarat sebagaimana besi berkarat. Rasulullah SAW lalu ditanya, 'Apa yang membuat hati agar tidak berkarat?' Rasul menjawab, 'Membaca Alquran dan mengingat kematian.'” (HR al-Baihaqi).
Ilustrasi dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa hati manusia itu potensial menjadi seperti besi yang kemudian berubah menjadi berkarat. Sebelum berkarat besi itu kuat, tapi ketika sudah berkarat, ia akan berubah menjadi rapuh. Hati yang berkarat adalah hati yang berpenyakit atau sudah tidak sehat dan tidak kuat.
Agar hati tidak berkarat, Rasulullah SAW memberi solusi, yaitu membaca Alquran. Mengapa membaca Alquran dapat membuat hati tidak berkarat? Badiuzzaman Said Nursi dalam al-Mu'jizat al-Qur'aniyyah menjelaskan bahwa Alquran adalah kalam Allah yang paling mulia dengan sifat rububiyyah mutlak. Ia adalah pesan azali atas nama kekuasaan ilahi yang komprehensif dan agung.
Alquran adalah catatan perhatian dan penghormatan ar-Rahman yang bersumber dari rahmat-Nya yang luas yang mencakup segala sesuatu. Ia merupakan kumpulan risalah komunikasi Rabbani yang menjelaskan keagungan uluhiyah di mana permulaan sebagiannya berupa simbol-simbol dan tanda. Ia adalah kitab suci yang menebarkan hikmah, yang turun dari lingkup nama-Nya yang paling agung. Ia menatap kepada apa yang diliputi arasy yang paling agung.
Jangankan hati yang berkarat! Bebatuan gunung yang kuat dan kokoh pun dapat “takluk dan tunduk” kepada Alquran sekiranya diturunkan kepadanya. (QS al-Hasyr [59]: 21).
Hati adalah cermin cahaya (nur) Ilahi. Karena itu, wajar jika hati yang berkarat akan kembali memancarkan cahaya terang apabila diasupi hidangan Rabbani. Sebab, Alquran merupakan “jamuan spesial” Allah SWT bagi hamba-Nya. Jamuan kemuliaan ini tentu harus dinikmati dan dimaknai. Memaknai Alquran identik dengan membaca, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan mengamalkan seruan berpikir rasional, pesan-pesan moral, dan spiritualnya.
Dengan kata lain, agar hati tidak berkarat, mudarasah Alquran harus terus dilakukan dan dibudayakan, bukan sekadar mengaji (tilawah), membaca, dan mempelajari pesannya, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami, menerjemahkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya dalam kehidupan nyata sehingga spirit Alquran itu menjiwai dan menggelorakan kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keadilan, keindahan, dan kedamaian.
Mudarasah Alquran merupakan peneduh hati yang gersang dan penjinak watak “keras kepala dan keras hati”. Sejarah membuktikan bahwa Umar bin al-Khattab yang sebelum masuk Islam dikenal berwatak keras kepala dan liar. Namun, hatinya luluh setelah mendengar lantunan ayat-ayat Alquran yang dibacakan adik kandungnya yang telah masuk Islam, Fatimah binti al-Khattab.
Boleh jadi, salah satu penyebab kemunduran, keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan yang mendera umat Islam saat ini adalah masih jauhnya kita dari naungan dan pangkuan Alquran. Padahal, menurut Sayyid Qutub dalam pengantar tafsir Fi Zhilal Alquran, hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat.
Jadi, agar hati tidak berkarat, gerakan mengaji, mengkaji, dan mengaktualisasi Alquran sehingga membumi perlu dikembangkan, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah, hingga lingkungan kerja. Apabila, Alquran telah menjadi “menu harian” kita maka dapat dipastikan visi Islam sebagai rahmat bagi semesta dapat terwujud dan dirasakan semua. Kita semua pasti masih memerlukan obat dan rahmat dari Allah agar kehidupan kita selamat dunia dan akhirat.