Rabu 21 Aug 2019 09:35 WIB

Facebook dan Twitter Jadi Alat Perang Cina

Penelusuran menunjukkan akun-akun tersebut terkait Pemerintah Cina.

Warga AS berkumpul di Lafayette Square di depan Gedung Putih di Washington untuk mendukung pengunjuk rasa Hong Kong, Ahad (18/8).
Foto: AP Photo/Carolyn Kaster
Warga AS berkumpul di Lafayette Square di depan Gedung Putih di Washington untuk mendukung pengunjuk rasa Hong Kong, Ahad (18/8).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Rossi Handayani, Rizky Jaramaya

Cina memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menyebarkan isu tentang Hong Kong. Hal ini disampaikan dua perusahaan media sosial tersebut pada Senin (19/8) yang kemudian membekukan akun mencurigakan di platform mereka.

Dalam beberapa pekan terakhir, akun Facebook dan Twitter yang berasal dari Cina bertindak secara terkoordinasi untuk memperkuat pesan dan gambar yang menggambarkan pengunjuk rasa Hong Kong sebagai kekerasan dan ekstrem.

Di Facebook, misalnya, salah satu unggahan terbaru dari akun yang terhubung dengan Cina menyamakan pemrotes dengan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sementara itu, sebuat cicitan di Twitter mengatakan, "Kami tidak ingin Anda orang-orang radikal di Hong Kong. Keluarlah dari sini!"

Facebook dan Twitter menyatakan mereka telah menghapus sejumlah akun. Kejadian ini pertama kalinya perusahaan media sosial harus menghapus akun yang terkait dengan disinformasi di Cina.

Facebook menyatakan telah menghilangkan tujuh halaman, tiga grup Facebook, dan lima akun yang terlibat dalam kampanye disinformasi tentang pengunjuk rasa Hong Kong. Penelusuran menunjukkan akun-akun tersebut terkait Pemerintah Cina. Sementara itu, Twitter telah menangguhkan lebih dari 200 ribu akun.

"Akun-akun ini sengaja dan secara khusus berusaha menabur perselisihan politik di Hong Kong, termasuk merusak legitimasi dan posisi politik gerakan protes di lapangan," kata Twitter dalam sebuah pernyataan, dilansir Independent, Selasa (20/8). "Berdasarkan investigasi intensif kami, kami memiliki bukti yang dapat diandalkan untuk mendukung bahwa ini merupakan operasi yang didukung oleh negara," katanya.

Selain itu, Twitter juga akan melarang iklan dari perusahaan media yang didukung Pemerintah Cina. Kedua langkah ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengekang aktivitas politik yang berbahaya pada platform media sosial. Akun itu ditangguhkan karena melanggar persyaratan layanan platform jejaring sosial.

"Kami pikir ini bukan cara orang dapat datang ke Twitter untuk mendapatkan informasi," ujar seorang pejabat senior Twitter yang tidak mau disebutkan namanya karena masalah keamanan, Selasa (20/8). Pejabat itu mengatakan, aktivitas Cina di media sosial itu telah dilaporkan ke FBI.

Twitter melacak kampanye Hong Kong ke dua akun palsu Twitter berbahasa Cina dan Inggris. Dua akun itu berpura-pura menjadi organisasi berita yang berbasis di Hong Kong. Akun bahasa Cina, @HKpoliticalnew, dan akun berbahasa Inggris,/@ ctcc507, mendorong cicitan di Twitter yang menggambarkan pengunjuk rasa sebagai penjahat yang kejam.

Sekitar 936 akun inti tambahan yang diyakini Twitter berasal dari Cina berusaha untuk menabur perselisihan politik di Hong Kong dengan merusak legitimasi politik atas gerakan protes tersebut. Sementara itu, sekitar 200 ribu lebih akun Twitter terlibat dengan akun inti dalam jaringan tersebut. Twitter mengatakan, penyelidikan saat ini masih berlangsung dan kemungkinan ada pengungkapan lebih lanjut.

Para peneliti menyatakan, sebenarnya Facebook dan Twitter diblokir di Cina tetapi tidak diblokir di Hong Kong. Tampaknya, saat dianggap perlu, Cina memanfaatkan kedua platform media sosial tersebut.

James Lewis dari lembaga think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, kampanye melalui Twitter mencerminkan fakta bahwa Pemerintah Cina telah mempelajari peran media sosial dalam gerakan massa. "Ini merupakan praktik standar Cina di dalam negeri, dan kami tahu bahwa setelah 2016 mereka mempelajari apa yang dilakukan Rusia di AS dengan cermat. Jadi, sepertinya ini merupakan pertama kalinya mereka menyebarkan mainan baru mereka," ujar Lewis.

Twitter telah bergerak lebih agresif memantau jaringannya untuk kegiatan politik jahat sejak pemilihan presiden Amerika Serikat 2016. Agar penyelidikan lebih transparan, Twitter secara terbuka merilis data tentang operasi yang didukung negara sejak Oktober sehingga pihak lain dapat mengevaluasinya. Organisasi media yang didukung negara masih diizinkan untuk menggunakan Twitter, tetapi mereka tidak lagi diizinkan untuk memasang iklan.

photo
Pengunjuk rasa bereaksi terhadap gas air mata dari kantor polisi Shum Shui Po di Hong Kong, Rabu (14/8).

Cina: kami berhak

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, menolak berkomentar langsung tentang keputusan Facebook dan Twitter. Namun, ia mengatakan, rakyat dan media Cina berhak menyampaikan pandangan mereka agar didengar oleh pengunjuk rasa Hong Kong.

"Warga Cina di perantauan dan mahasiswa Cina di luar negeri tentu saja berhak untuk menyampaikan pandangan mereka," kata Geng dalam konferensi pers rutin, Selasa.

"Tentang apa terjadi di Hong Kong dan yang sebenarnya terjadi, orang yang akan menilai sendiri. Mengapa kesan media resmi Cina selalu negatif dan salah?\" kata Geng menambahkan. n ap/reuters, ed: yeyen rostiyani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement