REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hubungan Arab-Paris bukan hanya tersimpan di gereja-gereja di sudut kota cantik ini, melainkan juga di Masjid Agung Paris. Masjid yang terletak di kawasan Arisdisemen Ve ini didirikan setelah Perang Dunia I sebagai tanda terima kasih Prancis kepada serdadu Muslim yang saat itu turut membantu melawan Jerman.
Masjid yang diresmikan oleh Presiden Gaston Doumergue pada 1926 ini mengusung gaya arsitektur khas Muslim Spanyol abad pertengahan. Saat ini, Masjid Agung Paris tidak hanya menjadi pusat ibadah bagi lebih dari empat juta Muslim di Prancis, tapi juga sebagai pusat Islam di Eropa.
"Ketika mereka membangun masjid, mereka mengambil unsur-unsur dari seluruh dunia Arab dengan harapan terwujud sebuah masjid yang ideal. Masjid ini memiliki menara, tetapi tidak ada kumandang azan dari menara itu. Itu tidak mungkin dilakukan di Latin Quarter," tulis Nancy Beth Jackson dalam arti kelnya di laman aramcoworld.
Pada era Perang Dunia II, ketika Nazi me nguasai Prancis, masjid ini berfungsi sebagai tempat berlindung warga Muslim di Prancis, begitu juga warga pribumi. Bahkan, masjid agung ini memberikan akta lahir Muslim pal su untuk anak-anak Yahudi agar bisa menye berang ke negara-negara Arab dengan aman dan selamat dari kejaran Nazi.
Hubungan Arab-Paris bukan hanya tergambar di rumah-rumah ibadah, melainkan juga di beberapa tempat di sudut-sudut Paris. Salah satunya, Institut du Monde Arabe yang menawarkan beragam program budaya Arab untuk kalangan segala usia dan dibuka sepan jang tahun.
Gedung yang mencangkup museum seni, ruang konser, perpustakaan, pusat penelitian, pusat bahasa, restoran, toko buku, banyak ruangan lainnya ini menjadi tempat yang tepat untuk menikmati kekhasan budaya Arab sembari ditemani pemandangan kota Paris yang indah. Tempat ini menawarkan berbagai pi lihan buku, musik, dan cendera mata di toko buku lantai dasar. Pengunjung juga bisa menikmati hidangan khas Timur Tengah dan Afrika Utara di sebuah restoran yang ada di lantai sembilan gedung ini.
Sebagian besar orang Arab di Paris berasal dari Maghreb, kelompok negara-negara di Afrika Utara, tepatnya dari Libya ke arah ba rat. Terkadang, Paris bahkan digambarkan se bagai ibu kota Arab di Eropa mengingat begitu banyaknya mahasiswa, penulis, dan seniman Arab yang datang dan menetap Paris pada awal abad ke-20. "Di sana dan di Kairo, pemikiran liberal Arab memiliki pijakan awalnya,'' tulis Fouad Ajami dalam bukunya The Dream Palace of the Arabs yang terbit pada 1998.
Kebebasan berpikir yang ditawarkan Prancis menjadi sesuatu yang sangat menarik dan tidak disia-siakan oleh sejumlah orang Arab. Tak aneh jika populasi imigran Arab di Prancis semakin meningkat, disusul berdirinya penerbit, majalah, surat kabar, dan buku berbahasa Arab di negeri itu.
"Bagi orang-orang Timur, Paris selalu menjadi modal intelektual," kata Nicolas Beau, penulis buku Paris, Capitale Arabe.