Rabu 21 Aug 2019 14:20 WIB

Pengusaha Terus Tunggu Penurunan PPh Badan

Dengaan penurunan PPh Badan, daya saing usaha domestik akan tinggi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (28/6).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (28/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik Raden Pardede menuturkan, pengusaha akan terus menunggu realisasi janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) badan. Meskipun, rencana insentif ini belum tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. 

Raden menjelaskan, keinginan tersebut sudah diutarakan pihak pengusaha dengan Presiden Jokowi dalam sebuah pertemuan beberapa waktu lalu. Presiden Jokowi pun menyambut permintaan tersebut secara baik.

Baca Juga

"Tapi, dalam data ini (RAPBN 2020), penurunan PPh belum diakomodasi di 2020," ujarnya dalam Seminar Nasional Nota Keuangan RAPBN 2020 di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (21/8). 

Raden menyebutkan, pengusaha akan tetap menantikan realisasi niatan baik Presiden Jokowi itu. Bahkan, dunia usaha akan tetap menunggu sekalipun insentif penurunan PPh badan baru dapat diimplementasikan pada 2021,  2022 ataupun lima tahun mendatang. 

Pengusaha juga menunggu skema pemberian insentif tersebut. Apakah penurunan tarif PPh badan dilakukan secara langsung dari 25 persen menjadi 20 persen atau bertahap dari 25 persen ke 24 persen hingga akhirnya menyentuh batasan 20 persen. Ia mengakui, skema ini belum pernah disampaikan lagi oleh pemerintah kepada pengusaha setelah pertemuan terakhir dengan Presiden Jokowi.

Raden menegaskan, permintaan penurunan PPh badan bukan tanpa sebab. Dunia usaha domestik ingin memiliki daya saing tinggi dan mampu berkompetisi dengan negara lain. "Ada baiknya, supaya PPh turunkan dari 25 persen menjadi 20 persen untuk mencapai hal itu," tuturnya. 

Raden menuturkan, pihaknya menyadari bahwa penurunan PPh badan akan sangat signifikan berdampak ke penerimaan pemerintah secara keseluruhan. Oleh karena itu, harus ada kompensasi di tempat lain, seperti PPh orang ataupun dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hanya saja, ia juga belum melihat kompensasi ini dalam RAPBN 2020. 

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan, pihaknya memahami bahwa aspirasi terhadap pajak terus bermunculan. "Termasuk untuk menurunkan (tarif)," ucapnya. 

Suahasil menyebutkan, pemerintah melalui Kemenkeu terus memantau perkembangan yang ada untuk dapat mengimplementasikan suatu insentif. Namun, ia menegaskan, penurunan tarif suatu pajak pasti akan berdampak pada penurunan penerimaan. Di sisi lain, secara bersamaan, belanja naik sehingga utang berpotensi meningkat. 

Apabila memang tidak suka utang sedangkan belanja harus naik, Suahasil menyebutkan, maka penerimaan harus tinggi. Risiko-risiko atau opportunity cost ini yang terus dipertimbangkan pemerintah, termasuk dalam merancang APBN. "Oleh karena itu, kita selalu rumuskan APBN dengan ruang fleksibilitas," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement