REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengetahuan tentang berat, menuntun ilmuwan Muslim mengembangkan instrumen mekanik berupa timbangan. Namun, pengembangan ini tak melulu didominasi oleh pemikiran ilmiah. Ada tuntunan moral yang dituangkan dalam pengembangan instrumen tersebut.
Pada masa Islam klasik, timbangan menjadi sebuah objek perdebatan teknik dan ilmiah. Ini dibuktikan dengan banyaknya risalah yang ditulis ilmuwan Muslim kala itu. Topik perdebatan biasanya terkait aspek teori, konstruksi, dan akurasi timbangan.
Lalu, bermunculanlah sejumlah jenis timbangan. Ada timbangan yang memanfaatkan keseimbangan lengan, timbangan dengan skala manual, dan timbangan yang lebih canggih dan rumit untuk mengukur berat suatu benda secara spesifik.
Sejumlah gambar timbang an ditemukan dalam risalah yang dihasilkan para ilmuwan Muslim, seperti Al-Khazini, Al-Hariri, dan Al-Qazwini. Bahkan, sejumlah timbangan yang mereka kembangkan masih tersisa hingga sekarang dan tersimpan dalam sejumlah museum.
Paling tidak ada dua timbangan manual dari abad ke-10 hingga ke- 12 yang masih ditemukan wujudnya. Pertama, timbangan manual yang dibuat di Iran, tersimpan di Museum Nasional di Kuwait. Timbangan ini terbuat dari baja dan tanda ukuran berat tertera dalam tiang timbangan. Timbangan tersebut tinggi nya 11,5 cm dan panjangnya 15,6 cm.
Dengan ukuran seperti itu, timbangan tersebut digunakan untuk menimbang benda dalam kuantitas yang kecil. Sedangkan timbangan kedua, tersimpan di Science Museum di London, Inggris. Timbangan ini sampai di museum tersebut pada 1935 dari University College, bersama dengan sejumlah besar benda arkeologi.
Benda-benda tersebut di antaranya adalah timbangan dan alat ukur kuno, yang berhasil diperoleh arkeolog asal Inggris, Flinders Petrie, di Timur Dekat. Penemuan dan penciptaan timbangan di dunia Islam, seperti diketahui, tak bermula dari sebuah ruang hampa. Namun, para ilmuwan Muslim terinspirasi pesan moral dalam Alquran dan hadis, yang mendo rong terwujudnya moral yang baik dan tegaknya keadilan.