REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan masyarakat sipil menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintah melakukan pemblokiran internet sementara di Papua dan sekitarnya. Pemblokiran melalui sejumlah penyedia layanan seluler ini disebut melanggar hukum.
Direktur Eksekutif Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) Damar Juniarto, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia dapat melanggar hukum negara sendiri. "Sebab, hal itu mencegah orang melakukan pekerjaan mereka. Ini adalah langkah mundur dalam demokrasi dan pelanggaran serius," katanya sebagaimana dilansir dari Al Jazeera, Jumat (23/8).
SAFEnet pun mengampanyekan penolakan atas kebijakan pemerintah tersebut. Kampanye di media sosial dengan menggunakan tagar #KeepItOn dan #NyalakanLagi meminta pemerintah agar mencabut larangan internet di Bumi Cendrawasih tersebut.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, mengatakan pelambatan dan pemblokiran akses internet dikhawatirkan akan membuat masalah Papua terus berkepanjangan. Alih alih membuka informasi seluas-luasnya, kebijakan yang dipilih justru membatasi akses informasi.
"Pelambatan akses internet dapat menjadi 'penjara' yang lain bagi Papua dan bagi publik. Berdasarkan cara-cara yang dipilih negara dalam menangani situasi yang memanas di Papua, negara justru semakin memperlihatkan kegagalannya dalam mengidentifikasi masalah utama Papua serta cara-cara demokratis dalam menanganinya," tegas sebagaimana keterangan tertulis yang diterima Republika, Kamis.
Seharusnya, lanjut dia, penambahan aparat bersenjata dalam rangka mengamankan situasi diimbangi dengan pembukaan akses informasi seluas-luasnya. Hal ini menurutnya demi memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas kinerja aparat keamanan demi mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM.