REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyanyi Aluna Sagita Gutawa atau yang akrab dipanggil Gita Gutawa menyampaikan pandangannya soal revolusi industri 4.0 kaitannya dengan pembangunan manusia Indonesia. Ia menyatakan bahwa revolusi Industri 4.0 tidak hanya sebatas mengadopsi teknologi untuk penyelenggaraan pendidikan.
Gita yang kuliah di Inggris mengatakan bahwa sistem pendidikan secara utuh harus ikut beradaptasi dengan perkembangan teknologi, mulai dari kurikulum, cara mengajar, sistem pengajaran, dan sebagainya.
"Intinya, bagaimana sekolah itu tersistem secara baik," ujar lulusan S2 London School of Economics and Political Science LSE itu dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Menurut pelantun lagu "Harmoni Cinta" itu, di era digital ini banyak pekerjaan yang akan tergeser diganti dengan robot. Ia menilai, pada 2020 akan banyak bermunculan profesi yang tak terduga, misalnya analis data dan ilmuwan, spesialis kecerdasan buatan dan mesin pembelajaran, spesialis perangkat lunak dan pengembang aplikasi dan analis, spesialis big data, spesialis informasi digital, dan sebagainya.
"Ada yang lebih penting dari sekadar akademik, yakni keahlian. Misalnya, kita perlu mengasah keterampilan, kreativitas, negosiasi, multi tasking, kecerdasan emosi, dan sebagainya," ungkapnya.
Gita mencontohkan pengalaman hidupnya. Menurut dara kelahiran Jakarta 11 Agustus 1993 ini bakat dan kemampuan bermusiknya diasah melalui kebiasaan latihan dan lingkungan yang mendukung.
“Sejak kecil diajak papa ke tempat-tempat kreatif dan akhirnya tertarik. Kreativitas itu bisa dilatih, bukan karena papaku musisi lalu aku musisi. Semua berawal dari kebiasaan dan latihan. Situasi sekitar juga sangat membantu. Sekolah-sekolah juga mengubah caraku berpikir, berdialog, dan sebagainya," katanya dalam Seminar Pra-Munas KAGAMA XIII bertajuk Pendidikan Bangsa dalam Menyiapkan SDM Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Seminar ini merupakan rangkaian kegiatan Pra-MUNAS KAGAMA XIII di Bali pada 15-17 November 2019. Rangkaian seminar ini berlangsung di lima kota dan lima pulau (Semarang, Balikpapan, Medan, Manado, dan Bali) selama Agustus-November, yang diakhiri dengan FGD di Yogyakarta untuk merumuskan rekomendasi hasil seminar.