REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat (AS) memperingatkan tentang masih berlanjutnya tindakan kekerasan terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Hal itu disampaikan saat Bangladesh dan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) tengah berusaha memulangkan pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar.
“Dua tahun lalu, pasukan keamanan Burma (Myanmar) terlibat dalam serangan brutal terhadap ratusan ribu pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersenjata dalam tanggapan yang sangat tidak proporsional terhadap serangan-serangan oleh gerilyawan di pos-pos keamanan di Negara Bagian Rakhine,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus pada Sabtu (24/8), dikutip Anadolu Agency.
Menurut dia, Rakhine bukan satu-satunya tempat di Myanmar di mana militer melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama lebih dari 70 tahun. Ortagus menyoroti bahwa pelanggaran militer Myanmar berlanjut di Kachin, Negara Bagian Shan, dan daerah lainnya yang dihuni etnis minoritas.
Para pengungsi Rohingya di Bangladesh menolak direpatriasi atau dipulangkan ke Myanmar. Mereka menilai belum ada jaminan keselamatan jika harus kembali ke desa asalnya di Rakhine.
Komisaris pengungsi Bangladesh Abul Kalam mengatakan terdapat 21 keluarga dari 1.056 yang dipilih untuk repatriasi bersedia diwawancarai oleh para pejabat tentang apakah mereka ingin kembali. Tak satu pun dari keluarga tersebut menyatakan keinginannya untuk pulang ke Rakhine.
“Kami ingin jaminan kewarganegaraan terlebih dulu dan mereka harus memanggil kami Rohingya, lalu kami bisa pergi. Kami tidak bisa pergi tanpa hak kita,” kata Ruhul Amin, seorang kepala keluarga yang sempat diwawancarai komisi pengungsi Bangladesh dan UNHCR, dikutip laman the Guardian, Rabu (21/8).
Organisasi Burma Human Rights Network (BHRN) meminta PBB, Uni Eropa, dan ASEAN menetapkan syarat-syarat bagi proses repatriasi pengungsi Rohingya. Satu di antaranya adalah status kewarganegaraan.
“Langkah-langkah ini harus mencakup status kewarganegaraan bagi Rohingya, sebuah mekanisme yang berfungsi untuk memastikan keselamatan mereka yang kembali, pertanggung jawaban para tokoh yang militer yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, dan sebuah rencana konkret untuk mengembalikan Rohingya ke desa asa mereka serta properti mereka dipulihkan atau diganti sepenuhnya jika mereka dihancurkan militer,” kata BHRN dalam sebuah pernyataan pada Selasa (20/8).
BHRN mengatakan, perjanjian repatriasi pernah direncanakan sebelumnya. Namun hal itu menuai perlawanan dan penentangan dari pendudukRohingya. Sebab mereka menilai kondisi di Negara Bagian Rakhine belum sepenuhnya aman. Di sisi lain, Myanmar juga masih enggan menjamin status kewarganegaraan Rohingya.