REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Juli 2019 mencapai Rp 183,71 triliun atau 1,14 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu meningkat dibanding dengan realisasi Juni 2019, Rp 135,8 triliun.
Besaran defisit itu didapat berdasarkan capaian pendapatan negara hingga akhir Juli 2019 mencapai Rp 1.052 triliun atau 48,63 persen dari target APBN 2019. Sementara itu, belanja negara terserap Rp 1.236 triliun, sekitar 50,24 persen dari pagu APBN 2019.
Baik pendapatan ataupun belanja negara sama-sama mengalami pertumbuhan dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Sementara pendapatan tumbuh 5,85 persen, belanja negara juga tumbuh 7,93 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, gejolak ekonomi global yang kini terus memanas masih menjadi tantangan terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Kondisi ekonomi dunia confirm melemah dan ini risikonya bahkan meningkat," ujarnya dalam konferensi APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) di kantornya, Jakarta, Senin (26/8).
Sri menuturkan, kondisi tersebut muncul dalam berbagai statement kepala negara anggota G7 dan indikator sesudah eskalasi perang dagang pada Juli dan Agustus. Termasuk di antaranya eskalasi dari sisi perang dagang yang kemudian dispekulasikan akan merembet ke currency war.
Sementara itu, Sri menambahkan, saling balas-membalas antara Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping turut membawa imbas eskalasi ekonomi global. "Ini terjadi dalam waktu beberapa hari terakhir saja dan sudah menyebabkan gejolak pada harga saham dunia dan sentimen," tuturnya.
Sri menjelaskan, kondisi global itu memberikan pengaruh terhadap harga komoditas yang terus mengalami perlemahan. Permintaan terhadap komoditas pun melemah seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi banyak negara.
Hal ini berdampak negatif terhadap kinerja ekspor Indonesia dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang turut berimbas pada pendapatan negara. Di antaranya melalui penerimaan perpajakan yang tumbuh 3,9 persen atau lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, 14,6 persen.
Faktor pertumbuhan restitusi dan dinamika eksternal, seperti penurunan aktivitas impor dan harga komoditas dunia ditengarai sebagai penyebab tekanan terhadap pertumbuhan penerimaan pajak. Ini terlihat dari realisasi penerimaan PPn dan PPnBM yang tumbuh negatif 4,55 persen secara year on year (yoy).
Di sisi lain, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami kondisi serupa. "PNBP kita tumbuh 14,2 persen, lebih rendah dari tahun lalu 22,7 persen," tutur Sri.