REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan penerimaan perpajakan hingga akhir Juli 2019 mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta (APBN KiTa), pertumbuhan pada tujuh bulan pertama tahun ini adalah 3,9 persen. Sedangkan, pada tahun lalu, adalah 14,6 persen.
Direktur Jenderal Perpajakan Kemenkeu Robert Pakpahan menuturkan, salah satu pajak yang menjadi perhatian adalah Pajak Penghasilan (PPh) migas. Pajak jenis ini mengalami kontraksi 1,8 persen hingga Juli 2019, kontras dengan kondisi dalam periode yang sama pada tahun lalu yang tumbuh 14,2 persen.
Robert menuturkan, perlambatan tersebut dikarenakan moderasi harga komoditas yang menurun di pasar global. “Ini menjadi tantangan utama penerimaan pajak di periode Januari hingga Juli ini,” ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa di kantornya, Jakarta, Senin (26/8).
Moderasi harga komoditas di pasar global turut berdampak pada voluntary payment/ effort sektor tambang serta sawit sekitar 10,11 persen. Voluntary payment adalah pembayaran pajak secara sukarela oleh wajib pajak (WP). Sedangkan, effort merupakan pembayaran pajak karena upaya pembinaan, pengawasan, pemeriksaan atau penegakan hukum.
Dampak lainnya dirasakan pada penerimaan pajak sektor pertambangan yang tumbuh kontraksi hingga 12,3 persen pada periode Januari sampai Juli 2019. Industri pengolahan juga tumbuh minus 4,3 persen.
"Yang tumbuh lumayan bagus adalah jasa keuangan (7 persen) dan transportasi dan pergudangan (20 persen)," kata Robert.
Tidak hanya PPh migas, pertumbuhan pajak non migas juga mengalami perlambatan. Sampai akhir Juli, realisasinya adalah Rp 670,1 triliun atau tumbuh 2,9 persen. Sedangkan, pada periode yang sama pada tahun lalu, pertumbuhannya adalah Rp 651 triliun atau tumbuh 14,3 persen.
Dari komponen pajak non migas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menghadapi kontraksi besar yakni 4,6 persen. Kondisi ini juga kontras dengan periode yang sama pada tahun lalu, 14,3 persen. "Ini menunjukkan kondisi yang agak kurang bagus," kata Robert.
Pajak Pertambahan Negeri (PPN) impor juga tercatat mengalami kontraksi. Robert menyebutkan, penyebabnya adalah normalisasi aktivitas impor yang berdampak pada pertumbuhan negatif PPN impor, 4,52 persen. Sementara itu, PPN dalam negeri juga kontraksi 4,68 persen dengan nilai realisasi Rp 149,93 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, kontraksi dua jenis pajak tersebut menunjukkan bahwa denyut kegiatan ekspor Indonesia menunjukkan tingkat kewaspadaan atau kehati-hatian. Ini juga seiring dengan perlambatan pertumbuhan PPh 22 impor, dari 28,3 persen pada Januari-Juli 2018 menjadi 1,2 persen pada Januari-Juli 2019.
"Mungkin ada pengaruh restitusi. Tapi, kalaupun tidak ada restitusi, diperkirakan tetap tumbuh lemah," ucapnya.
Saat ini, Sri menekankan, pekerjaan rumah Indonesia adalah meningkatkan PPh 21 dan PPh Orang Pribadi (OP) sebagai faktor pemasukan negara. Sampai dengan Juli ini, keduanya tumbuh masing-masing 12,31 persen dan 15,9 persen.
Sri menilai, peningkatan kedua pajak tersebut dapat menjadi penyeimbang penerimaan perpajakan yang relatif stabil. Hanya saja, keduanya masih memiliki kontribusi yang kecil, yakni kurang dari 15 persen.
"Makanya, perluasan basis pajak menjadi program prioritas pemerintah terus dilakukan," tuturnya.
Secara umum, realisasi penerimaan pajak sampai akhir Juli 2019 telah mencapai Rp 705,59 triliun atau 44,73 persen dari target APBN. Angka itu tumbuh positif 2,68 persen (yoy), meskipun mengalami perlambatan pertumbuhan.
Penyebabnya, faktor pertumbuhan restitusi dan dinamika eksternal seperti penurunan aktivitas impor serta harga komoditas dunia.