REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Adaro Energy Tbk menyiapkan belanja modal berkisar antara 450 - 650 juta dolar AS pada tahun 2019. Chief Financial Officer Adaro Energy, Lie Luckman menyampaikan sebesar 200 juta dolar AS digunakan untuk peremajaan alat-alat berat kontraktor tambang.
"Kedua, sekitar 200 juta dolar AS untuk pengembangan tambang Adaro MetCoal Companies (AMC)," katanya usai Public Expose di Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Senin (26/8).
Sekitar 200 jutaan dolar AS lainnya untuk pemeliharaan dan pengembangan PT Adaro Indonesia (AI) dan PT Maritim Barito Perkasa (MBP) dari Adaro Logistics. Lie mengatakan penyediaan dana tersebut masih berasal dari internal.
Menurut dia, Adaro belum berencana untuk mengandalkan dana dari perbankan karena kas internal masih cukup untuk mendanai kebutuhan. Sektor bisnis Adaro masih fokus pada batu bara. Laba masih bisa diperoleh berkat peningkatan operasional tersebut.
Tahun lalu Adaro baru saja menyelesaikan akuisisi Kestrel Coal Mine (Kestrel) dari Rio Tinto. Direktur Adaro Energy, Mohammad Syah Indra Aman mengatakan pada paruh pertama 2019, produksi Kestrel yang dapat dijual mencapai 3,45 Mt dan penjualan mencapai 3,2 Mt.
Angka ini termasuk produksi yang dapat dijual dan penjualan yang masing-masing mencapai 1,65 Mt dan 1,66 Mt pada kuartal dua 2019. Batu bara kokas keras Kestrel terutama dijual ke India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Taiwan.
Akuisisi Kestrel tidak dilakukan sendirian melainkan bersama EMR Capital Ltd yang kini bersama-sama menguasai 80 persen kepemilikan. Lie mengatakan saat ini perseroan masih dalam proses penyesuaian karena Kestrel adalah tambang //underground// pertama yang mereka punya.
"Kita masih mendalami proses operasional di sana, kita masih tingkatkan efisiensi di sana, kita berharap bisa produksinya mencapai angka 6,7 juta ton batu bara," kata Indra.
Kestrel sendiri terletak di Queensland, Australia. Ia memastikan bahwa dana ekspansi yang digunakan cukup minimal karena kapasitas produksi di kestrel sendiri bisa menyiapkan efisiensi.
Produksi batu bara Adaro Energy pada paruh pertama 2019 mencapai 28,48 Mt atau naik 18 persen yoy dengan dukungan tingginya permintaan dan kinerja operasional. Pada kuartal dua 2019, Adaro Energy memproduksi 14,73 Mt batu bara, atau naik 12 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Wilayah Asia Tenggara terus mendominasi penjualan dan meliputi 39 persen volume penjualan pada paruh pertama 2019. Penjualan ke Cina bertambah seiring peningkatan permintaan atas impor batu bara dari sana dengan porsi 15 persen.
Asia Timur membeli 28 persen dari total produksi Adaro Energy, sementara India 13 persen, dan Eropa tiga persen. Selandia Baru dan Pakistan mengambil dua persen sisanya.
Untuk bisnis selain batu bara, Adaro Power masih menunggu penyelesaian konstruksi pembangkit listrik PT Tanjung Power Indoneisa yang berkapasitas 2X100 MW di Tanjung, Kalimantan Selatan. Prosesnya telah mencapai 99 persen. Sementara itu, perkembangan konstruksi pembangkit listrik PT Bhimasena Power Indonesia yan berkapasitas 2x1000 MW di Batang, Jawa Tengah telah mencapai 79 persen pada semester 2019.
Lainnya, Adaro Water dan bisnis kesehatan, keamanan, dan lingkungan masih dalam tahap persiapan. PT Adaro Tirta Mandiri (ATM) dan PT Adhi Karya bersama mendirikan PT Dumai Tirta Persada (DTP). ATM memegang kepemilikan 49 persen.
DTP telah menandatangani perjanjian kerja dengan PDAM untuk pengolahan air minum di Dumai, Riau. Proyek ini berkapasitas untuk memproduksi skema 450 liter per detik dan mengeluarkan biaya sekitar Rp 400 miliar.
"Operasinya ditargetkan akhir 2020," katanya.
Semenara proyek ATM lainnya berada di Kalimantan Timur melalui PT Adaro Tirta Mentaya yang telah mencapai konstruksi melebihi 40 persen. Dijadwalkan rampung selambat-lambatnya pada akhir 2019.
Secara total, Adaro Energy mencatatkan EBITDA operasional sebesar 691 juta dolar AS, naik 17 persen dari 593 juta dolar AS pada semester satu 2018. Laba inti naik 38 persen menjadi 371 juta dolar AS. Posisi keuangan saldo kas sebesar 895 juta dolar AS. Total kontribusi pada pemerintah dalam bentuk royalti dan pajak penghasilan badan mencapai total 356 juta dolar AS pada semester I 2019 ini.