REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia pada tersangka kejahatan seksual. Alasannya, kebiri kimia pada terdakwa bukan bentuk pelayanan medis, bahkan berpotensi terjadi konflik norma.
Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih, mengatakan sikap IDI sudah jelas di diskusi dengan pemangku kepentingan terkait saat membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang (UU) dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), hingga Komisi IX tiga tahun lalu.
"Saat itu kami mempersilakan kalau mau ada hukuman kebiri kimia, apalagi sudah jadi hukum positif. Tetapi kami minta jangan menunjuk tenaga medis atau tenaga kesehatan sebagai eksekutor," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (27/8).
Ia menyebutkan, IDI punya alasan yaitu pertama, kebiri kimia bukan pelayanan medis melainkan hukuman. Jadi, ia menegaskan ini bukan ranah tenaga medis atau kesehatan.
Karena itu, IDI mempersilakan pemerintah menunjuk eksekutor di luar tenaga medis. Apalagi, ia menyebut eksekusi hukuman kebiri kimia tidaklah sulit.
Ia menyebutkan jika kebiri kimia dalam bentuk minuman, sang eksekutor dengan mudahnya tinggal memberikannya pada pelaku untuk diminum atau misalnya dalam bentuk suntik juga bisa dilakukan seperti masyarakat awam karena itu tidak sulit. Ia menyontohkan, hukuman suntikan ini sama seperti penderita penyakit diabetes melitus (DM) yang harus suntik insulin atau para pecandu narkoba suntik yang kerap melakukan injeksi. Jadi, ia menegaskan ini perkara yang tidak susah dan tidak usah diperdebatkan.
Alasan kedua, ia menyebut eksekusi ini bisa menimbulkan konflik norma yaitu etika kedokteran, perintah organisasi kesehatan dunia (WHO), dan undang-undang (UU) Kesehatan yang melarang melakukan hal ini.
"Kami sudah diwanti-wanti dan di semua negara sudah menetapkan tenaga medis tidak boleh bersentuhan dengan masalah eksekusi karena akan melanggar konflik norma," ujarnya.
Jadi, ia menyebut semua dokter dan tenaga kesehatan sudah memahami konflik norma ini karena sudah diajarkan sejak dulu. Karena itu, ia menyebut IDI tidak membuat surat instruksi kepada para dokter atau tejaga medis mengenai hal ini karena mereka pasti memahami dan menolak melaksanakan hukuman kebiri kimia.
Muh Aris (20) seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi terpidana pertama yang harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap sembilan anak.
Ia melakukan aksinya sejak tahun 2015 dan baru diringkus polisi pada 26 Oktober 2018. Aris sempat minta banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur karena tidak terima dengan putusan hakim. Namun, oleh hakim PT, putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto justru dikuatkan. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PTSurabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tanggal 18 Juli 2019. Putusan ini pun dianggap berkekuatan hukum tetap lantaran Aris tak lagi mengajukan keberatan alias kasasi.