REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan Prof Edy Suandi Hamid menilai langkah yang dilakukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam mendatangkan rektor asing terlalu tergesa-gesa. Kesan yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut adalah konsep yang belum matang.
Pada Senin (26/8) Menristekdikti Mohamad Nasir memperkenalkan rektor asing pertama yang akan memimpin Universitas Siber Asia yaitu Jang Youn-cho. Profesor dari Korea Selatan tersebut memimpin Universitas Siber Asia yang izin pendiriannya diterima oleh Kemenristekdikti kemarin. Jang Youn-cho merupakan mantan Vice President Hankuk University for Foreign Studies di Korea Selatan.
Universitas Siber Asia ditargetkan bisa beroperasi tahun 2020 dengan sejumlah program studi seperti manajemen kontemporer dan e-commerce, akuntansi dan perpajakan, sistem informasi, informatika, penyiaran dan komunikasi digital. Universitas ini berada di bawah Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) yang juga menaungi Universitas Nasional (Unas).
Menurut Edy, keputusan Menristekdikti ini berubah-ubah sejak awal mulai dimunculkan kembali wacananya. Di awal wacana rektor asing, Menristekdikti mengatakan akan dilakukan di universitas negeri, namun kini tiba-tiba dilakukan di swasta.
"Tahu-tahu ini di swasta, dan baru lagi. Ini seperti mau coba-coba dan sangat dipaksakan," kata Edy pada Republika.co.id, Selasa (27/8).
Ia pun heran, karena sebelumnya Kemenristekdikti mengatakan akan membawa rektor asing untuk meningkatkan ranking perguruan tinggi Indonesia di dunia. Namun, kini rektor asing justru memimpin universitas swasta baru yang izin pendiriannya baru saja diberikan Senin kemarin.
"Nah, ini yang membingungkan. Sejujurnya gagasan ini masih sumir dan belum jelas. Menristekdikti seperti coba-coba dan penerapan sekarang beda dengan ide awal dulu," kata Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) ini.
Meskipun demikian, saat ini keputusan tersebut sudah berjalan. Oleh sebab itu, Edy mengatakan sebagai masyarakat sebaiknya mengikuti sambil mengawasi secara kritis apa saja yang dilakukan terkait kebijakan ini.
Menurut Edy, pemerintah harus terbuka terkait target-target yang dimiliki oleh perguruan tinggi ini. Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas ke publik sehingga masyarakat bisa menilai langsung.
"Jangan sampai kita hanya diberi cek atau pepesan kosong belaka," kata Edy.
Saat ini keputusan tersebut sudah akan dijalankan. Maka, menurut dia sebaiknya tetap mendukung agar jalannya bisa tetap optimal sesuai dengan potensi yang ada dan juga untuk mewujudkan perguruan tinggi berkelas dunia.
Selama ini, catatan kritis sudah diberikan kepada Kemenristekdikti terkait rektor asing ini. Hal tersebut, kata Edy bisa menjadi masukan sekaligus peringatan sehingga diharapkan bisa menutup celah kekhawatiran yang ada.
Edy menuturkan, jangan sampai kebijakan yang telah menghabiskan dana yang besar justru hanya menghasilkan sesuatu yang biasa-biasa saja.
"Namun, supaya tidak hanya diberi pepesan kosong maka perlu diberikan target kinerja yang diharapkan dari rektor asing ini. Ada target jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dalam satu periode kerektoran yang akan dihasilkan," kata dia.
Sementara itu, YMIK selama ini telah bekerja sama dengan Hankuk University dalam berbagai bidang pendidikan tinggi khususnya dengan Unas. Salah satunya juga tentang rencana pendirian cyber university. Saat ini, YMIK mendirikan universitas swasta baru yakni Universitas Siber Asia.
Universitas baru ini memiliki rektor yang pernah juga berada di jajaran pimpinan Hankuk University. "Universitas Siber Asia adalah universitas baru. Profesor Cho adalah mantan vice rector di sana," kata Kepala Divisi Public Relations Universitas Nasional (Unas) Dian Metha Ariyanti.
Jang Youn-cho ditunjuk sebagai rektor karena kepakarannya di dalam universitas siber. Dian menjelaskan, sistem pembelajaran di Universitas Siber Asia ini akan memanfaatkan jaringan internet secara terbuka dan masif melalui program massive open online course.
Kerja sama dengan luar negeri yang dilakukan berbentuk membawa pengajar dari berbagai negara seperti Amerika, Korea, dan juga Indonesia. Universitas Siber Asia juga dikatakan akan menggunakan infrastruktur dan teknologi dari Korea.