REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Karakter bangsa terbentuk melalui kesadaran sebagai makhluk ciptaan tuhan dan makhluk sosial. Kemampuan manusia ditentukan sejauh mana manusi dapat mengembangkan kreativitas, kemampuan, kompetensi, dan budaya demi terciptanya kerukunan.
Profesor H M Ridwan Lubis dalam bukunya "Sumbangan Agama Membangun Kerukunan di Indonesia" menuliskan ada enam komponen karakter bangsa dalam membangun kerukunan.
Pertama, kesadaran teologis sebagai makhluk Tuhan meyakini bahwa anugerah seperti kehidupan, kenikmat dan sebagainya itu harus dibalas manusia dengan ibadah. "Caranya yaitu selalu mendekatkan diri kepada Tuhan," kata Ridwan.
Ridwan mengatakan, setiap orang di dunia ini sedang berjalan sama-sama menuju kepada Tuhan sesuai dengan keyakinannya. Ridwan memastikan, jika pemahaman tersebut tertanam di setiap diri manusia, maka akan memperkecil kemungkinan terjadi konflik antara penganut agama, manakala di antara mereka telah memiliki kesadaran dan teologis.
"Kesibukan manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya akan mengalahkan segala motivasi yang lain. Pada saat itulah terbina kerukunan hidup di antara warga bangsa baik yang sama maupun beda agama," katanya.
Komponen kedua karakter bangsa dalam membangun kerukunan di Indonesia adalah kesadaran budaya. Kesadaran budaya memiliki sikap dinamis, kreatif, dan kompetitif yang memungkinkannya memberikan sumbangan kemanusiaan.
Menurut Ridwan, sifat dinamis, kreatif, dan inovatif selalu memperhitungkan potensi yang ada dalam dirinya. Demikian juga lingkungan budaya yang akan dihadapi.
Untuk itulah, kata Ridwan, kesadaran budaya melahirkan sikap yang mengandalkan pertimbangan logis, rasional, dan fungsional, serta melepaskan diri dari ketergantungan mitos dan doktrin yang kaku. Kesadaran budaya melahirkan etos keilmuan bangsa Indonesia berdasarkan pada kekuatan dzikir dan fikir sebagaimana hal ini muncul dalam perubahan sosial.
"Yaitu semakin tinggi konsentrasi pemikirannya terhadap modernitas, akan mendorong mereka untuk semakin banyak menekuni nilai-nilai keilahian," katanya.
Ridwan menuturkan, pemahaman budaya yang berkarakter merupakan suatu cara pandang yang berorientasi terhadap pencapaian nilai kehidupan ideal dan universal. Setiap orang meyakini, bahwa manusia memiliki kebebasan hak asasi dalam mengekspresikan keinginannya.
"Hal itu adalah suatu yang tidak dapat dikurangi apapun dan siapapun juga dan pada saat yang sama pula akan menghormati kebebasan hak asasi yang dimiliki orang lain," katanya.
Komponen karakter bangsa yang ketiga adalah kesadaran filosofis, dan kemampuan beralih diri, dari makna simbolik kepada makna filosofis dengan menggali makna yang terdalam dari setiap peristiwa sosial.
"Pola berpikir ini memperkuat rajutan integrasi sosial mendorong manusia agar tidak menimbulkan diri mendiskusikan hal-hal tidak strategis seperti perbedaan simbol," katanya.
Ridwan mengatakan, dengan kesadaran filosofis itu, maka setiap orang dapat menyelam lebih dalam kepada substansi atau hakikat keberadaan dirinya, bahwa Tuhan tidak menciptakan dirinya dengan sia-sia, akan tetapi manusia dibebani dengan misi yang luhur. Yaitu menegakkan serta memperjuangkan kebenaran.
"Sebagai sebuah perjuangan maka tentulah di dalamnya tersimpul kesediaan untuk memberikan pengorbanan baik yang bersifat materi maupun bukan materi," katanya.
Komponen karakter bangsa yang keempat adalah kesadaran komunikasi. Di mana manusia selalu membutuhkan adanya orang lain sebagai tempat melakukan komunikasi.
Sehingga manusia dapat saling menolong antara satu dengan yang lainnya. "Karena tidak ada manusia yang mampu untuk menghidupkan dirinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain," katanya.
Bahkan kata Ridwan, semakin tinggi status sosial seseorang, maka semakin banyak tergantung pada bantuan orang lain. Selain sebagai rekan dialog, manusia juga pada akhirnya terlibat dalam kompetisi karena keinginan mencapai cita-cita masa depannya.
Kompetisi bukanlah hal yang terlarang, manakala dalam kompetisi itu selalu mengindahkan cara-cara yang etis dan hasil dari kompetisi itu didistribusikan untuk dikembalikan kepada komunitas.
Kekuatan karakter suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan sumber daya alam yang melimpah. Akan tetapi, lebih penting lagi adalah bagaimana, kemampuan daya saing untuk memberikan nilai tambah dari produksi. "Inilah yang mendorong manusia berkarakter merumuskan sikap yang seimbang dalam melihat harapan dan kenyataan," katanya.
Ridwan mengatakan, komponen karakter bangsa yang kelima adalah kesadaran kesejahteraan. Setiap manusia dinilai memiliki karakter. Manakala manusia itu memiliki kesadaran mewujudkan kesejahteraan bagi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya.
Manusia seperti itu kata dia selalu berpola hidup mandiri, percaya kepada kekuatan sendiri, mencari berbagai peluang, rajin membangun jaringan kerja dalam mewujudkan silaturahim. Seseorang yang berkarakter tidak menggantungkan diri kepada keluarga, bahkan juga negara.
Komponen keenam karakter bangsa dalam membangun kerukunan adalah kesadaran politik. Seseorang yang berkarakter adalah mereka yang melihat politik tidak lebih dari sekadar sarana mewujudkan kepentingan bersama. Atas dasar itu, keberadaan lembaga politik seperti partai politik dan organisasi kemasyarakatan bukanlah tujuan utama."Keduanya hanya alat untuk memajukan kehidupan seluruh rakyat Indonesia," katanya.